PT. ASURANSI JIWASRAYA (AJS) adalah perusahaan asuransi jiwa milik pemerintah Republik Indonesia (BUMN), oleh sebab itu laporan keuangannya wajib diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga segala penyimpangan penggunaan keuangan yang merugikan institusi AJS sama artinya merugikan negara Indonesia dan penyimpangannya tersebut dapat berimplikasi pada tuntutan tindak pidana korupsi.
Diketahui bersama pada tanggal 10 Oktober 2018, AJS menyampaikan penundaan pembayaran klaim polis asuransi jiwa berbalut investasi yang disebut "JS Saving Plan" kepada nasabahnya dan menawarkan perpanjangan hingga akhir tahun 2019 dengan kompensasi bunga 5% s/d 6% nett per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi "kesalahan" pengelolaan keuangan dalam AJS.
Atas "kesalahan" pengelolaan keuangan tersebut, Pihak AJS melalui Direktur Utamanya memberikan alasan yang diungkapkan dihadapan anggota komisi XI DPR RI pada saat Rapat Kerja tanggal 7 Nopember 2019, yakni diakibatkan oleh :
1. Produk JS Saving Plan yang dikeluarkan AJS tahun 2013.
Produk tersebut berkondisi durasi kontrak 5 tahun (jatuh tempo hingga 2018) dengan jaminan return sebesar 9% s/d 13% per tahun dan dapat dicairkan dananya setiap tahun.
Dengan kondisi tersebut maka terjadi tekanan likuiditas dalam AJS.
2. AJS tidak hati-hati dalam melakukan investasi saham di Reksadana.
Investasinya adalah merupakah high risk asset.
3. Adanya rekayasa harga saham (window dressing)
Dengan alasan di atas maka penyebab "kesalahan" seakan-akan diakibatkan oleh ketidak hati-hatian para direksi AJS dalam mengambil keputusan, baik saat membuat produk asuransi JS Saving Plan maupun "kesalahan" dalam menginvestasikan dana nasabah, yang berarti bahwa "kesalahan" tersebut dianggap bukan merupakan tindak pidana namun lebih cenderung "diarahkan" ke tindak perdata.
Didalam rapat tersebut diungkapkan oleh Direktur Utama AJS bahwa AJS memerlukan suntikan dana sebesar Rp. 32,89 triliun untuk memperbaiki permodalan dan kinerja AJS yakni agar risk based capital (RBC) bisa memenuhi ketentuan minimal 120%.
Dikarenakan masih belum adanya jalan keluar maka di hadapan anggota komisi VI DPR RI pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) tanggal 16 Desember 2019, Direktur Utama AJS menyampaikan belum dapat membayar klaim polis JS Saving Plan kepada nasabah dengan nilai mencapai Rp.12,4 triliun pada akhir Desember 2019 dan Rp.3,7 triliun pada tahun 2020.
Kemana larinya dana hasil penjualan produk JS Saving Plan ?
Menurut keterangan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung pada tanggal 19 Pebruari 2020 bahwa dana tersebut diinvestasikan pada saham-saham "gorengan" yang ada di Reksadana dengan nilai pembelian harga saham yang sangat tinggi saat itu. Saat ini saham-saham "gorengan" tersebut hanya bernilai Rp.50,-
Dari hasil penyelidikan Kejaksaan Agung bahwa ternyata transaksi investasi saham "gorengan" tersebut mencapai 4 juta transaksi bahkan mungkin terus bertambah dan melibatkan ribuan rekening penerima dana dari AJS serta sudah adanya indikasi pencucian uang melalui pembelian apartemen-apartemen mewah.
Jadi jelas bahwa skandal AJS yang berhubungan dengan JS Saving Plan merupakan suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama dan direncanakan secara matang antara pihak internal AJS dengan pihak eksternal AJS.
Kita mundur sesaat ke tahun 2008 -- tahun 2013.
Mengapa AJS pada tahun 2013 memasarkan produk JS Saving Plan ?
Penulis melihat, hal ini sangat berkaitan erat akibat posisi keuangan AJS di tahun 2008.
Direktur Utama AJS saat itu mengungkapkan bahwa akibat buntut dari krisis moneter tahun 1998 maka AJS di tahun 2008 memiliki liability (kewajiban bayar utang) lebih tinggi Rp. 5,7 triliun dibandingkan dengan nilai asetnya yang berarti AJS memiliki defisit sebesar Rp. 5,7 triliun, bahkan di tahun 2009 defisit semakin besar mencapai Rp.6,3 triliun.
Untuk membuat kesan AJS dalam kondisi sehat maka manajemen AJS melakukan revaluasi aset dan reasuransi dengan jaminan negara sebab waktu itu Menteri Negara BUMN mengeluarkan surat going concern terhadap AJS sehingga secara akuntansi nilai defisit tersebut akhirnya dapat dihilangkan, bahkan dalam laporan keuangan AJS tahun 2011 tercatat surplus Rp.1,3 triliun dan pada laporan keuangan tahun 2012 tercatat surplus Rp. 1,6 triliun dengan catatan bahwa jika financial reasuransi dihilangkan maka AJS dalam posisi defisit Rp.3,2 triliun.
Walaupun saat itu secara akuntansi defisit AJS sudah di "netralisir" namun tetap kewajiban kepada nasabah yang sudah jatuh tempo harus dipenuhi. Untuk hal tersebut maka AJS memerlukan segera suntikan dana segar. Dikarenakan suntikan dari pemerintah tidak disetujui maka pada akhir tahun 2012, AJS berencana mengeluarkan produk JS Protection Plan dan pada tanggal 18 Desember 2012 produk tersebut telah diberi izin oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Pada awal tahun 2013, AJS mulai memasarkan produk barunya tersebut, namun ada keanehan, yakni namanya berubah menjadi JS Saving Plan. Produk ini sangat diminati masyarakat karena adanya kondisi kontrak yang begitu bagus dibandingkan investasi lainnya.
Jadi beban AJS saat ini sebenarnya bukan hanya akibat JS Saving Plan saja namun merupakan akumulatif dari beban utang AJS sejak tahun 2008 dan jatuh temponya kewajiban pembayaran JS Saving Plan.
Sekarang kita mundur ke tahun 2004 -- tahun 2008.
Apakah benar defisitnya keuangan AJS sebesar RP.5,7 triliun ditahun 2008 akibat buntut krisis moneter tahun 1998 ?
Penulis meyakini bahwa utang tersebut sangat berkaitan erat dengan kondisi keuangan AJS di tahun 2004. Keyakinan penulis didasari hasil penelusuran Majalah Tempo (Edisi 7 Maret 2020), yakni pada laporan keuangan AJS tahun 2004, terlihat adanya insolvency (nilai aset lebih kecil dari nilai utang) sebesar Rp. 2,769 triliun, yang berarti sebenarnya AJS saat itu sudah dapat dikatakan posisi "collaps".
Namun anehnya dalam kondisi seperti itu, pada kisaran tahun 2004 -- 2006 AJS melakukan Repurchase Agreement (REPO) saham Group Bakrie senilai Rp. 3 triliun dengan menggunakan dana nasabah yang terserap. Pada saat jatuh tempo, ternyata saham REPO tersebut tidak dapat ditebus kembali.
Akibat hal diatas maka kondisi likuiditas AJS semakin parah sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk laporan keuangan AJS tahun 2006 dan tahun 2007 memberikan opini disclaimer (informasi tidak dapat dipertanggungjawabkan) bahkan kondisi insolvency AJS kian membesar terus dan sampai pada tahun 2008 tercatat insolvency mencapai Rp. 5,7 triliun.
Jadi jelas bahwa posisi defisit di tahun 2008 bukan saja akibat buntut krisis moneter tahun 1998 namun diakibatkan "kesalahan" pengelolaan keuangan yang dilakukan secara sengaja oleh para pemegang kebijakan di AJS sebelumnya (2004-2008) dan tidak tertutup kemungkinan adanya "kerjasama negatif" dengan pihak-pihak lain di luar AJS.
Saat ini, REPO Backrie tersebut tidak jelas penyelesaiannya dan sangat disayangkan bahwa kondisi tersebut belum tersentuh dalam penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Hanya sementara terlihat adanya saham-saham Backrie Group di Reksadana yang berkaitan dengan skandal AJS.