Jangan tanya bagaimana soal kesiapan orang yang hendak berhaji atau umrah. Jika ditanya, mereka pasti rata-rata akan menjawab---mau nggak mau harus---siap. Yang jadi masalah, sebenarnya tidak berhenti pada pernyataan itu. Sebab, jika sudah berhadapan dengan kenyataan di lapangan, kesiapan ini dari 100% bisa turun entah jadi berapa persen.
Bukan apa-apa. Kalau sudah berhubungan dengan orang tua yang harus (wajib) didampingi, kita tidak bisa sekadar mengiyakan. Kita di sana harus tinggal sekitar 2 minggu hingga sebulan lebih. Apalagi kalau yang mendapat jamaah "titipan" alias bukan dari keluarganya sendiri. Mau menolak kadang nggak enak. Mau iya, kepikiran juga nanti gimana.
Tenang, itu manusiawi kok. Apalagi kalau berhaji yang lebih panjang waktunya. Kecemasan itu sebenarnya bukan terletak pada ketidakmauan, tapi pasti ada pikiran mampu atau tidak. Apalagi, kalau sudah niat ibadah, hampir pasti ini akan jadi ladang pahala.
Dari pengalaman kami, yang sedikit memberatkan hati jika kemudian melihat kondisi yang akan didampingi. Jika ada yang sampai harus dibantu kursi roda, tentu akan lebih sulit jika yang bersangkutan hanya menggunakan tongkat biasa. Intinya, yang membuat kita mau dan siap itu biasanya hanya karena pandangan pertama. Namun, jika sudah mulai mengenal baik, akan lebih mudah menerima.
Maka, hal yang perlu disiapkan saat kali pertama menerima "titipan" jamaah ini adalah:
- Usahakan untuk bicara dari hati ke hati dengan keluarga. Gali sebanyak mungkin tentang sifat dan sikap orang yang dititipkan pada kita. Mulai dari kebiasaan, dari keinginan, hobi, hingga hal seperti minyak gosok apa yang paling nyaman dibawa.
- Minta pada pihak keluarga untuk menjelaskan dan meminta pada orang tua tersebut untuk bisa berkompromi. Artinya, kita mungkin tidak bisa 24 jam membantu. Minta mereka memberi pengertian bahwa petugas dari umrah atau haji pun terbatas jumlahnya.
- Buat catatan ringan tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Misalnya, menu makanan, obat yang diminum, hingga kebiasaan, seperti bisa pakai popok atau harus BAB dan BAK sendiri. Khusus untuk ini kadang memang tidak bisa spontan. Tapi, minimal catatan kecil hal utama itu harus mulai ditanyakan.
Nah, itu tadi bicara soal kesiapan. Lantas, bagaimana dengan keikhlasan? Saya pikir, itu memang ranah pribadi. Tapi, kalau sudah mendapat amanah, kita memang mau tidak mau harus ikhlas. Bagaimana caranya?
- Ingat-ingat, ibadah itu selain Habluminallah juga Habluminannas. Niatkan bahwa ini adalah bagian dari Allah yang memberikan kita keluasan dan kelapangan untuk mendapat pahala sebanyak-banyaknya.
- Jadikan mereka sebagai "pengganti" orangtua kita. Di sana---jika yang didampingi bukan orangtua sendiri---akan membuat terasa lebih ikhlas saat kita merasa orang yang didampingi adalah orangtua kita. Ini hanya soal kebiasaan kok. Jadi, saat kita sudah berkomitmen untuk membantu, ini akan lebih mudah ikhlas melayani.
- Sadar bahwa kita orang "pilihan". Orang percaya menitipkan orang tersayang mereka pada kita itu artinya kita adalah orang pilihan. Dengan membuka pikiran seperti ini, kita akan terasa lebih ikhlas dan bahkan bangga bisa membantu jamaah lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H