Lihat ke Halaman Asli

Angin Punggungan

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1339879487475455322

Semburat cahaya melewati ranting-ranting, siang belum juga terik, namun nafasku satu-satu tertarik. Setapak berbaris jauh kedepan, menyembunyikan belokan sebelum turunan, dan diselanya pohon tua tidur nyaman, tumbang. Air panas menceritakan uap-uap tentang aroma belerang, agar siapapun yang melewatinya bisa melihat batas jurang. Puncak masih jauh, tapi paru-paruku mulai melenguh, dan sesekali mengepulkan asap, tembakau. Dedaunan jatuh tertiup angin, walaupun daun tak mengajak hatimu. Dan sampailah pada titik puncak, dimana harapan mengalir dan doa terurai. Ikut pergi bersama kabut yang berlalu, lalu pulang sendirian. Untuk edelweiss yang berkuncup segar, dan semua tentangmu yang belum juga layu. Dan untuk senyum bapak yang terkembang, melajukan perahu ceritanya kepada murid-muridnya. Gede-Pangrango, 3 Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline