Semburat cahaya melewati ranting-ranting, siang belum juga terik, namun nafasku satu-satu tertarik. Setapak berbaris jauh kedepan, menyembunyikan belokan sebelum turunan, dan diselanya pohon tua tidur nyaman, tumbang. Air panas menceritakan uap-uap tentang aroma belerang, agar siapapun yang melewatinya bisa melihat batas jurang. Puncak masih jauh, tapi paru-paruku mulai melenguh, dan sesekali mengepulkan asap, tembakau. Dedaunan jatuh tertiup angin, walaupun daun tak mengajak hatimu. Dan sampailah pada titik puncak, dimana harapan mengalir dan doa terurai. Ikut pergi bersama kabut yang berlalu, lalu pulang sendirian. Untuk edelweiss yang berkuncup segar, dan semua tentangmu yang belum juga layu. Dan untuk senyum bapak yang terkembang, melajukan perahu ceritanya kepada murid-muridnya. Gede-Pangrango, 3 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H