Lihat ke Halaman Asli

Tradisi Menyalahkan Korban

Diperbarui: 22 Mei 2016   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar disalin dari: http://www.kliksangatta.com/berita-3074-pencabulan-lagi-bocah-5-tahun-jadi-korban-kejahatan-seksual.html

Baru-baru ini terjadi teror di sekitar lingkungan tempat saya tinggal. Kebetulan, saya tinggal di sebuah perumahan yang terletak di dekat sebuah kampus di bilangan Tangerang Selatan. Di sekitar perumahan itu ada banyak kos-kosan mahasiwa/i termasuk kosan yang saya tempati. Ada sebuah perkampungan kecil juga yang mengantarai perumahan itu dengan kampus. Di kampung itu juga ada banyak kos-kosan tempat mahasiswa/i tinggal alias indekos.

Teror itu terjadi sekitar subuh. Beberapa kosan mahasiswi menjadi incaran peneror. Sebuah video beredar menunjukkan seorang mahasiswa memegang kayu berjaga-jaga sambil menginterogasi peneror. Pelaku teror yang tertangkap basah saat sedang melakukan aksinya menjawab setiap pertanyaan dengan wajah tak bersalah. Ia malah mengancam mahasiswa yang menginterogasinya. Peneror itu masuk ke kosan mahasiswi dan bersembunyi di kamar mandi dengan alasan kosan tak dikunci. Katanya peneror hendak menumpang buang air kecil. Suara tangisan mahasiswi terdengar bersahutan dari dalam kamar.

Di kosan lain yang disatroni peneror, kebetulan sekitar pukul 3 pagi itu penghuni kosan masih bangun dan tengah belajar di balkon kosan, saat itu sedang musim UTS.  Peneror masuk lewat pagar lalu naik ke balkon. Karena kaget melihat sekumpulan mahasiswa sedang belajar, peneror malah mengaku kalau dia adalah pemuda karang taruna yang adalah seorang pembalap, dan juga kebal peluru. Si peneror bahkan sempat mengeluarkan senjata tajam dan mengancam mereka untuk berhati-hati. Para penghuni sempat mengikuti saat peneror itu meninggalkan kosan. Ternyata ia tak sendirian. Segerombolan anak muda sedang duduk di atas motor menunggunya turun ke bawah. Sekejap saja mereka sudah meninggalkan lokasi kejadian.

Cerita dan video itu kebetulan beredar di salah satu grup whatsapp saya. Seorang penghuni grup mengometari demikian; “Kok bisa masuk lewat jendela? Apa jendelanya terbuka? Tidak dikunci? Jam tiga pagi kok belajar di balkon? Balkon itu kan terbuka.”

Saat pertama kali membaca tentang berita Yuyun di lini masa, pertanyaan pertama yang mirip dengan pertanyaan tadi terpikir di benak saya, “Pakaian apa yang sedang dikenakan Yuyun? Apakah baju sekolahnya ketat dan seksi sehingga menampakkan lekuk tubuhnya dan menimbulkan birahi?”

Publik juga sempat dihebohkan tentang seorang anggota DPR yang sempat memberikan komentar cenderung menyudutkan Yuyun. Walaupun kemudian pernyataaan itu diklarifikasi, sebuah media online sempat menyebutkan bahwa Ketua Komisi DPR itu terkesan menyalahkan korban (Yuyun) yang berjalan sendirian di pinggir kebun sehingga terjadi perkosaan dan pembunuhan.

Setali tiga uang dengan kasus Yuyun, saat membaca bahwa salah satu pemerkosa dan pembunuh Eno adalah pacarnya sendiri. Saya hampir berkomentar,”Kok mau pacaran sama laki-laki gila macam itu?”

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, alih-alih menjadi masyarakat yang bersimpati, kita malah menjadi masyarakat yang senang menyalahkan korban. Kebiasaan meyalahkan korban ini rupanya sudah mengakar, mendarah daging, bahkan menjadi tradisi di masyarakat kita.

Saat terjadi sebuah kecelakaan, peneroran, pencurian, perkosaaan, atau bahkan pembunuhan. Kita, termasuk saya, langsung penasaran. Apakah korban mengenakan helm dengan benar? Apa perempuan itu mengenakan baju seksi yang menggoda? Apakah pemilik rumah mengunci rumah dengan benar?

Anda mungkin masih ingat acara Sergap yang dulu ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional. Di akhir acara biasanya ada adegan penutup yang menampakkan seorang laki-laki mengenakan topeng menutupi setengah wajahnya sedang berdiri di balik jeruji besi. Bang Napi, begitu panggilan untuk lelaki itu, biasanya akan menutup acara dengan kalimat khasnya; “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku, tapi kejahatan bisa terjadi karena ada kesempatan. Waspadalah. Waspadalah!”

Kewaspadaan. Itulah yang lebih ditekankan saat terjadi sebuah aksi peneroran, pencurian, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Bukannya memgecam aksi peneror, pencuri, pemerkosa atau pembunuh kita malah menyuruh anak-anak, tetangga, atau diri sendiri untuk lebih waspada dan waspada. Kita mengoreksi pakaian orang lain. Menambah jeruji besi, gembok, dan memastikan dua kali apakah rumah sudah terkunci dengan benar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline