Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | "Nang Ning Nung Bush..."

Diperbarui: 19 Juli 2018   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinterest.com/kartoffelh

Seperti biasa, hal ini sudah kulakukan sebulan lamanya. Sore hari sepulang kerja, menyempatkan diri untuk mampir ke kafe di sebelah kantorku yang terletak di jantung kota Medan. Duduk dipojok kiri, menghadap ke air mancur yang berada disebelah kafe tersebut. Buka social media sembari cek email masuk atau bahkan pesan dari orang lain. Dengan mocha float yang masih berdiri cantik diatas meja kaca didepanku.

Pelayan kafe disini pasti sudah maklum dengan keberadaanku, mereka pasti bergumam dalam hatinya "Lagi lagi wanita ini, bosan lihatnya. Toh, dia cuma pesan mocha float doang kok!"

Sorry guys, tapi beneran deh. Buat aku sore itu ga waktunya makan lagi! Kamu tahu kan wanita itu rentan dengan kegemukan?

Ok, aku jujur. Aku selalu mampir kesini karena hanya ingin melihatnya saja. Namanya Johan, lelaki pemilik kafe ini yang biasanya selalu datang pukul 16.30 untuk mengamati keadaan kafenya sendiri. Sedetail itu aku mengingatnya sampai kapan dia datang kesini saja aku sudah hafal betul. Ga habis pikir setelah 8 tahun kehilangan dia, akhirnya bertemu juga ditempat yang tak terduga ini dan diwaktu yang tepat juga, (karena aku dan dia masih sama-sama single).

Aku melirik jam tanganku, sepuluh menit lagi dia pasti datang. Mulai mengatur skenario sok sibuk biar dia ga tahu tujuan aku yang sebenarnya saat mampir ke kafe ini. Ada laptop, hp juga beberapa berkas terletak di meja. Sembari menunggunya datang, aku sibuk surfing didunia maya. Saking asyiknya, ga sadar dia sudah berdiri disampingku "Hm, senyum kenapa hayo?" sapanya dengan senyuman yang membuatku fluttering.

"Oh, mas Johan. Aku lagi buka 9gag nih, lucu banget deh anjingnya," ucapku sembari menunjukkan hpku padanya.

Tidak ada kecanggungan lagi diantara kami, meskipun baru beberapa bulan bertemu setelah bertahun-tahun lamanya terpisah. Sembari mengawasi kafenya yang semakin ramai, dia duduk didepanku. Pertemuan ini singkat, dangkal namun sangat menghangatkan. 

Meskipun seolah sibuk dengan layar laptopku yang terpampang manis didepanku. Namun sepenuhnya tubuhku berfokus padanya. Mataku melirik ke arahnya dan memperhatikan setiap detail wajahnya, masih sama seperti dulu hanya saja sekarang lebih maskulin. Wangi tubuhnya, ah yang satu ini takkan bisa kulupakan. Wangi ini seolah sudah menjadi identitas dirinya. Aroma kopi bercampur vanila, membuat hati adem ayem saat berada di dekatnya.

Sesekali aku tersenyum melihat ekspresinya yang kesal saat pelayannya lelet. Aku begitu menikmati kebersamaan ini. Meskipun kami sepenuhnya tidak pernah bersama, karena dia hanya mampir sebentar lalu pergi. Setidaknya ada kemajuan dibanding sewaktu SMA dulu yang sama sekali tak pernah bertegur sapa.

Dulunya, dia laki-laki yang begitu dingin padaku, tak pernah sedikitpun dibiarkannya aku masuk dalam kehidupannya. Teman abangku yang lain begitu ramah padaku kecuali dia, entah apa yang salah denganku. Aku memujanya setengah mati dari dulu sampai hari ini. Sosok simple namun begitu sempurna dimataku.

Berulang kali aku terluka, cemburu dan menangis saat melihatnya begitu mesra dengan pacar barunya kala itu. Namun semua itu tak bisa menghilangkan perasaanku padanya. Semakin hari aku malah semakin mennyukainya dan mulai kebal dengan rasa kecewa dan cemburu. Bagiku asal melihatnya saja, itu sudah lebih dari cukup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline