Lihat ke Halaman Asli

Ketika Dunia Anak Menjadi Embrio Kehidupan Bangsa

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” Albert Einstein

Jika kau ingin seorang anak menjadi pandai, bacakanlah ia dongeng. Jika kau ingin mereka lebih pandai, maka bacakanlah mereka lebih banyak dongeng. Mungkin kata-kata tersebut terlihat cukup sederhana untuk dilakukan. Namun, jika kita mau untuk menelaah lebih jauh, tentulah lebih banyak hal yang mampu kita selami.

Ketika Dunia Anak Menjadi Embrio Kehidupan Bangsa

Bukan lagi suatu rahasia bila kita mengatakan bahwa anak-anak dan generasi muda adalah salah satu harta yang paling luar biasa besar yang dimiliki setiap bangsa untuk memperjuangkan kehidupan masa depan bangsa itu sendiri. Kehidupan bangsa yang besar pasti tidak terwujud dengan hanya sekejap mata. Proses dan pembelajaran sedari dini pada setiap elemennya akan mempengaruhi bagaimana bangsa tersebut akan tumbuh dan membentuk sinergi yang mampu menggerakkan tak hanya sumber dayanya, akan tetapi juga bagaimana mengolah sumber daya tersebut guna menopang keberlangsungan bangsa itu sendiri.

Hal tersebut menjadikan suatu pemahaman bahwa tak berlebihan rasanya jika mengatakan betapa pentingnya pertumbuhan kehidupan anak sebagai bentuk fondasi dasar dan bentuk manifestasi dari embrio kehidupan suatu bangsa. Anak-anak dan setiap kelebihannya memiliki cara dan siklus tersendiri dalam merepresentasikan apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar, apa yang mereka rasakan, dan apa yang mereka ingin ekspresikan setelah seluruh indra dan imajinasi mereka merangkai susunan dari lingkungan kehidupan di sekitarnya.

Namun, bagaimana jika lingkungan yang seharusnya mendukung pertumbuhan anak nyatanya sekarang justru menjadi lingkungan yang semakin membatasi dunia imajinasi dan kreatifitas anak itu sendiri?

Semakin berkembangnya zaman dan teknologi, tak bisa dipungkiri memang tak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif bagi kehidupan anak. Ketika anak-anak di zaman yang lalu berlari dan bermain di bawah sinar rembulan bersama teman-temannya, yang sering terlihat sekarang adalah bagaimana seorang anak yang menyendiri di kamar karna lebih asik bermain games dan gadget-nya. Ketika anak-anak di zaman yang lalu mulai bertengkar dan akhirnya bermaafan dengan sebayanya karna kalah dalam suatu permainan, yang terdengar sekarang adalah bagaimana sekarang seorang anak yang justru tak acuh apakah ia kalah atau menang karna mereka lebih sering berhadapan dengan lawan berupa mesin daripada manusia.

Hal inilah yang selayaknya menjadi sorotan berbagai pihak. Harus adanya usaha lebih yang digunakan untuk meningkatkan partisipasi anak dalam pembangunan bangsa bukan lagimenjadihal sepele yang dapat dikesampingkan. Ini adalah salah satu masalah yang harus segera diatasi bersama apabila memang generasi sekarang menginginkan masa depan yang lebih baik.

Memang benar, pemerintah sendiri telah memberikan berbagai pelayanan maupun ruang terbuka publik sebagai sarana pengembangan dan kreatifitas anak. Namun, sepertinya kita sendiri lupa bahwa ruang publik tersebut sepertinya akan sia-sia jika kita sebagai orang-orang terdekat di sekitar bibit-bibit pemimpin bangsa ini justru lalai untuk memberikan pemahaman serta membantu mereka dalam pengembangan imajinasi yang telah mereka miliki agar dapat mencapai sasaran yang tepat guna yang tak terkungkung oleh drastisnya arus perubahan zaman.

Pendidikan dan Budaya Mengeksperesikan Diri

Pendidikan adalah salah satu cara atau sarana terpenting dalam pembangunan suatu bangsa di mana anak-anak bertindak sebagai subjeknya. Itu adalah bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan. Namun, bagaimana jadinya apabila pendidikan yang ada justru menjadikan anak-anak agen perubahan ini sebagai objek belaka? Bagaimana jika pendidikan yang seharusnya membantu anak-anak ini dalam mengekspresikan diri justru membatasi dan mulai mengkotak-kotakkan jenis dan pribadi setiap anak?

Masalahnya adalah, pendidikan yang kita pahami selama ini hanyalah melulu pendidikan sebagai suatu lembaga yang kental akan budaya kognitif semata dan melupakan tentang esensi pendidikan itu sendiri sebagai suatu proses yang tak selalu terpancang akan hasil akhir. Kealpaan dan pendapat yang selalu mendiskreditkan akan penilaian akhir sebagai bentuk nyata dari kualitas inilah yang semakin menjadikan terciptanya proses pendidikan yang salah sasaran.

Pemahaman yang harusnya diubah adalahbagaimana seharusnya pendidikan itu tak lagi menjadikan anak dan generasi ini sebatas ‘proyek’ dan indikasi keberhasilan kurikulum pemerintah, akan tetapi bagaimana menempatkan anak sebagai subjek dan change maker yang memiliki hak veto untuk menentukan jalan seperti apa dan bagaimana ia harusnya mengekspresikan dirinya sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki.

Kurangnya budaya mengekspresikan diri tanpa stigma awal inilah yang semakin lama semakin membatasi ruang gerak anak. Imajinasi dan kreatifitas yang ingin disalurkan selalu diberondong dengan kekhawatiran tak beralasan akibat justru minimnya pengetahuan masyarakat yang selama ini telah terbiasa menjadikan pendidikan sebagai suatu dogma berbatas kurikulum dan sekolah.

Pendidikan dalam implementasi kehidupan yang nyata terkadang justru menjadi urusan akhir bila dibandingkan dengan pendidikan formal. Padahal, jika kita mau menelaah bagaimana luar biasanya kreatifitas seorang anak mampu merubah lingkungan sekitarnya, akan terkejutlah kita bahwa yang diperlukan untuk hal itu bukan lagi nilai dan angka. Namun, yang menjadi pemain utama adalah dibierikannyakesempatanuntuk mampu mengekpresikan diri dan mengembangkan imajinasi.

Mari kita lihat bagaimana Malala Yousafzai yang beberapa waktu lalu sempat menjadi topik pemberitaan yang hangat di berbagai belahan dunia mengenai keberaniannya dalam memperjuangkan pendidikan bagi teman-teman sebayanya. Apakah penilaian kognitif bermain di sini? Sama sekali tidak. Terpampang nyata justru yang dibutuhkan adalah kesempatan untuk berekspresi serta mata yang lebih terbuka akan kemampuan setiap anak yang berbeda dan unik lah yang mendominasi. Tidak menggeneralisasikan setiap pribadi haruskita sadari sebagai suatu bentuk pokok dalam membawa dan mendampingi generasi ini untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Kewajiban kita sekarang bukanlagi melakukan doktrinisasi apa yang seharusnya seorang anak ketahui, tetapi lebih kepada bagaimana cara mengarahkan agen perubahan ini untuk lebih memahami dan menelaah apa yang telah mereka ketahui agar kedepannya mampu menjadi bekal dalam melakukan perbaikan dan kemajuan demi kemaslahatan umat. Dengan memberikan kesempatan dan mendampingi mereka dalam berbagai bentuk partisipasi yang mereka lakukan, akan menjadi hal yang lebih bijak untuk diterapkan daripada sekedar memerintahkan hal yang meskipun dapat mereka lakukan dengan hasil akhir sempurna, tetapi tak meninggalkan bekas atau pemahaman terhadap nurani para agen perubahan ini. -AFL-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline