Lihat ke Halaman Asli

Lumpur Sidoarjo Mengantarkan Suparman Beromset Rp 4 Miliar Per Bulan

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1399953949766269737

Sidoarjo 2006. Suparman hanyalah salah satu karyawan di PTPAL.Setelah 20 tahun mengabdi di perusahaan produsen kapal laut itu, jabatan terakhirnya hanyalah seorang kepala bagian.

Peristiwa lumpur Sidorjo yang membenamkan rumahnya di Desa Kedungbendo, Tanggulangin, justru menjadi berkah buatnya. Mengubah statusnya dari seorang karyawan, menjadi pengusaha yang beromset Rp 3 sampai 4 miliar per bulan.

[caption id="attachment_306873" align="alignnone" width="300" caption="Suparman di Ruang Kerja"][/caption]

Tentu, itu tidak terjadi begitu saja. “Kerja keras dan selalu bersyukur, itu kuncinya,” jelas Suparman memulai kisah usahanya.

Sama seperti ribuan orang lainnya, Suparman pun ikut hidup dalam pengungsian ketika lumpur menyembur di bumi Sidoarjo. Ia dapat jatah jaminan hidup sebesar UMR kala itu, Rp 700 ribu per bulan, juga uang untuk biaya kontrak rumah selama 2 tahun.

Selain itu, tanah yang ber-NJOP cuma Rp 39 ribu per meter, dibeli Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dengan harga Rp 1.000.000,- per meter, sedangkan bangunan Rp 1.500.000,- per meter.  Hemm… lebih dari 20 kali lipat.

Skema antara korban lumpur Sidoarjo dengan MLJ adalah jual-beli. Warga menjual tanah dan bangunan, MLJ membelinya. Jadi, bukan ganti rugi. Begitulah kesepakatannya.

Dari sekira 800-an meter tanah yang dimilikinya dan bangunan sekira 300-an meter, ia total menerima pembayaran sebesar Rp 1,2 miliar.  Suparman pun memilih skema pembayaran 20% uang muka, dan sisanya diangsur MLJ .

Suparman punya prinsip bahwa bahwa kehidupannya harus lebih maju. Dapat pembayaran 20% sebesar Rp 240 juta tidak membuatnya berfoya-foya. “Keluar dari lumpur saya harus lebih baik,” ujar pria yang kini berusia 49 tahun ini.

Dari uang itu, ayah tiga anak ini pun membeli dua buah rumah. “Satu rumah di Bligo (Sidoarjo), dan satu lagi di Batu (Malang),” rincinya.

Uang cicilan yang diterima dari MLJ ia kumpulkan. Sebagian  cicilan diawal ia gabungkan dengan pesangon dari PT PAL untuk modal toko kelontong. “Saya buat toko untuk istri. Saya putuskan keluar dari PT PAL, karena saya merasa jiwa saya adalah usaha,” jelasnya.

Cicilan berikutnya ia gunakan untuk beli tanah, dan dibangun di atasnya rumah perkantoran (rukan). Nilai bangunan kantornya sekitar Rp 800 juta. “Masih ada sisa  Rp 100 juta dari MLJ saya belikan mobil,” paparnya.

Kantor sudah, mobil sudah, lantas bagaimana Suparman memulai usaha? Modal kerjanya bisa dikatakan nol, hanya seperangkat komputer. “Prinsip saya biar orang yakin dulu saya punya kantor, baru setelah itu saya cari pelanggan,” jelasnya.

Ia memilih bisnis jual beli. Bahan bangunan adalah komoditi yang ia pilih. Langkah pertama ia memulai dengan membuat website dan blog untuk memasarkan barang dagangannya.

Web dan blog, ia kerjakan sendiri. Sementara foto barang yang dijualnya ia dapatkan dari katalog yang dibuat produsen bahan bangunan. “Saya datangi produsennya, saya bilang saya bisa pasarkan asalkan dikasih katalog,” jelasnya.

Minggu kedua setelah lapak di dunia mayanya dibuka, Suparman mendapatkan order. “Ada yang pesan atap bangunan,” tandasnya.

Kini pelanggan Suparman tersebar hampir di seluruh Indonesia, mulai dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTB, NTT, hingga ke Palembang.

Di bawah bendera PT Cahaya Bangun Perkasa, kini Suparman berkibar bukan hanya di dunia maya, via www.cahayabangunperkasa.com, tapi juga mulai merambah ke toko konvensional. Dalam waktu dekat empat cabang akan mulai beroperasi.

“Lagi proses sebentar lagi beroperasi empat cabang di Manado, Gorontalo, Pontianak, dan Jambi. Saya menggandeng mitra lokal di daerah masing-masing,”jelasnya.

Dalam mengembangkan bisnisnya Suparman dibantu 20 orang karyawan. “Sempat karyawan sampai 35 orang, tapi saya rampingkan biar sejahtera. Alhamdulillah yang kerja disini sebagian besar korban lumpur atau anak korban lumpur. Niat awalnya memang ingin memberdayakan korban lumpur,” jelasnya.

Omzet per bulannya kini rata-rata Rp 3 sampai 4 miliar. “Itu rata-rata, fluktuatif, kadang lebih,” tandasnya. “Ya alhamdulillah, yang penting bersyukur. Juga terimakasih buat keluarga Bakrie, yang secara tidak langsung mengajarkan pentingnya bersyukur,” ujarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline