Kalau ada akhir zaman, maka sampai akhir zaman, perempuan akan selalu menjadi kontroversi karena tubuhnya. Karena bentuk tubuh perempuan tidak sama dengan bentuk tubuh lelaki, maka sampai kapan pun perlakuan terhadapnya tidak akan pernah sama. For better or worse. Kenapa setelah ratusan, bahkan seribu tahun perempuan masih meneriakkan persamaan hak? Karena tubuh perempuan tidak sama. Ia berlekuk di simpul senyum, di dada, di pinggul, di tempat-tempat yang tidak dimiliki kawan lelakinya.
Karena ketidaksamaan-ketidaksamaan itu, tubuh perempuan menjadi sumber kekikukan dan kelu lelaki. Karena dunia ini diatur dengan standar tubuh lelaki yang rata dan lurus, maka tubuh perempuan selalu menjadi semacam ‘pelanggaran’, sehingga banyak orang merasa harus mengaturnya. Yang paling absurd adalah kenyataan bahwa perempuan dianggap tidak kompeten untuk mengatur tubuhnya sendiri. Perempuan menjadi setengah manusia, yang kurang punya hak atas tubuhnya sendiri. Maka bagi saya, yang patut diperjuangkan sebenarnya bukan semata hak-hak yang sama dengan laki-laki, melainkan hak untuk menjadi manusia yang utuh, yang punya otonomi atas tubuhnya.
Kadang-kadang saya merasa geli dengan reaksi teman-teman bergender rata dan lurus itu, apabila saya tampil dengan busana atau riasan tertentu. Seriously, siapa yang tidak tergoda untuk mengomentari perempuan berrok mini atau berkaos superketat? Siapa lelaki yang tidak suka melihat Farah Quinn beraksi di televisi, misalnya? Ketika sesuatu ‘di luar kebiasaan,’ eksotis, sensual, maka kita cepat menanggapi. Sering saya menikmati perhatian seperti itu. Siapa yang tidak senang diperhatikan sih? Lagian, sebagian besar lelaki yang saya kenal termasuk berbudaya, dalam artian mereka tidak akan menampilkan sisi hewani bak macan lapar melihat kuda yang sehat. Semuanya bisa diterima dengan baik, semuanya gembira, maka di mana salahnya?
Sayangnya, tidak semua lelaki seperti James Bond, yang biarpun dikelilingi bidadari-bidadari aduhay, tetap tampil cool, seakan semuanya memang sudah semestinya terjadi demikian. Kok James Bond? Mungkin lebih tepatnya, tidak semua lelaki seberadab teman-teman lelaki Anda, yang meskipun sesekali berkomentar nakal, baik Anda maupun mereka berada dalam batas-batas kenyamanan. Selalu saja ada lelaki di lampu merah perempatan yang memelototi paha Anda yang bercelana pendek. Anda perlu tahu bahwa lelaki seperti ini tidak punya referensi yang memadai mengenai tubuh perempuan. Tubuh perempuan baginya terlalu berbahaya sehingga harus dipelototi agar tidak meledak. Kalau Anda bertemu lelaki ‘miskin ilmu’ begini, mungkin Anda bisa membantu mencerahkan dia dengan berkata, “Pak, ini namanya P A H A.”
Sayangnya lagi, ada tempat-tempat tertentu di mana jumlah lelaki kurang referensi begini terlalu banyak, hingga tidak memungkinkan Anda untuk menjadi pencerah buat semuanya. Kalau sudah begini ya terserah keputusan Anda sendiri sebagai perempuan. Semua keputusan ada resikonya. Isi kopor saya saat bepergian ke luar kota kadang ditentukan oleh penilaian awal saya terhadap tingkat ‘kecerdasan’ semacam ini. Bagaimanapun juga saya ingin tetap nyaman, di manapun saya, dan terkadang hal itu sedikit banyak ditentukan oleh jenis pakaian yang menonjolkan atau menyembunyikan tubuh (perempuan) saya. Anda suka atau tidak, tingkat ‘kecerdasan tubuh’ daerah per daerah berbeda-beda. Itu kenyataannya.
Nah, kalau sekarang Menteri Agama dan satgas antipornografi sampai harus mengatur rok perempuan-perempuan Indonesia, maka ada beberapa hal yang bisa kita lihat di sini. Pertama, pemerintah telah melukai hati (perempuan, saya) dengan memberi label pornografi terhadap pemakai rok mini dan sebangsanya. Jadi dianggap pemakai rok mini dan film biru sama-sama pornonya. Porno berarti potensi merusak moral. Berarti dalam hal ini, kalaupun sudah ditetapkan demikian dan terjadi pelanggaran, maka seharusnya yang kena sangsi bukan cuma perempuan pemakai rok mini, tetapi juga mata-mata lelaki yang sudah memelototi dan menghadirkan gambar kotor di otaknya. Tetapi, sialnya perempuan nih, kalau rok mini itu jelas terlihat, pikiran kotor susah dibuktikan.
Kedua, adanya satgas antipornografi yang mengatur rok perempuan, berarti mengakui rendahnya tingkat kecerdasan terhadap tubuh yang saya bilang tadi. Menyedihkan. Saya membayangkan bahwa kelompok ini makin hari makin sedikit, tetapi saya rupanya harus mengakui (dan mungkin menerima) bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang dalam budayanya tidak memberikan ruang untuk “dicerahkan” dan “diadabkan,” seperti idealisme dalam “budaya” saya. Jadi, masihkan ada harapan untuk keadilan? Sepertinya masih ada, sekecil apapun itu.
Ketiga dan terakhir, dikatakan oleh Pak Menteri bahwa standar penerapan akan berbeda di daerah Bali dan Papua dengan mempertimbangkan BUDAYA setempat. Pemerintah pasti berpikir betapa repotnya satgas Pantai Kuta bila ada peraturan itu. Bingo! Inilah ruang abu-abu yang mungkin bisa menjadi tumpuan harapan. Fire with fire. Lawan budaya dengan budaya. Kehidupan mengalir penuh dinamika, mempengaruhi dan dipengaruhi, dan akan terus begitu. Mungkin dibutuhkan kesabaran sampai perempuan Indonesia bisa bebas memutuskan mau pakai busana apa: rok mini atau celana panjang, potongan dada rendah atau turtle neck,dengan rasa aman dan nyaman. Moral itu tanggung jawab kita bersama. Demikian pula pendidikan wawasan. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H