Lihat ke Halaman Asli

Mau ke Mana, Citra? (Bagian 2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"The Story of the Blue-haired Beauty"

Anakku hari ini pulang dengan rambut biru rafia. Ledakan yang hanya tinggal menunggu waktunya, aku tahu itu. Setelah cat kuku hot pink, sekarang kepalanya biru. Ceria sekali anakku ini! Paling tidak, ini ia lakukan saat ia sudah tidak harus berseragam putih abu-abu lagi. Paling tidak, tidak perlu penjelasan terlalu panjang kepada banyak orang. Toh ia tidak kuliah di FKIP. Ia mahasiswi seni pertunjukan. Dan ia punya cara untuk menjerit-jerit dalam diamnya.

“Don’t worry, Mama! I can always put on a wig on the stage!”

Christina Citra. Citra, indah nama itu di telingaku. Tapi jiwa kanak-kanaknya mungkin belum bisa menangkap nyanyian indah itu. Ia panggil dirinya CC (dilafalkan ‘sisi’). Ia buat teman-teman, guru-guru, dosen-dosennya memanggilnya CC. Dibiarkannya aku kesepian seorang diri memanggilnya Citra. Terserah apa maunya, aku lelah selalu bertengkar dengannya. Anak cerdas itu tepat membaca ekspresi mukaku. Bocah ora nggenah. Aku tahu betapa membosankannya komentarku, tapi toh sebagai orangtua aku harus mengatakannya. Anakku pergi masuk kamar dan tidak keluar-keluar lagi sampai tengah malam karena kelaparan.

Malam itu aku tidak bisa tidur lagi meskipun badanku rasanya seperti habis digebukin Pak Kusnun, tetangga sakit ingatan di sebelah rumah. Baca buku juga tidak konsen. Kali ini apa lagi? Apa yang ia berontaki? Apa ia marah lagi karena dua hari yang lalu aku pergi menemui Bagus hingga sore hari dan hanya meninggalkan uang limapuluh ribu di meja makan agar ia bisa membeli lauk makan siangnya sendiri? Walaupun Bagus tidak pernah lagi menginap di rumah kami, aku tahu itu tidak serta merta mengakhiri ketidaksenangan Citra terhadap pacarku itu. Tapi tidak seharusnya ia begitu marahnya paadaku hingga berusaha melawanku dengan cara-cara ajaib sepert itu. Bukankah selama ini aku selalu berusaha terbuka padanya dan belajar untuk tidak lagi berbicara dengan nada tinggi padanya? Jadi apa yang ia lawan kali ini? Mengapa begitu mudahnya ia membuatku merasa sebagai ibu yang buruk baginya? Aku berharap aku memiliki setengah saja kecerdasan dari gadis bengalku itu. Mengapa sering sekali ia membuatku komat-kamit membangunkan Tuhan dan mengadukan hal-hal remeh-temeh (bagi-Nya sepele, bagiku bagaikan menarikan tarian mengundang hujan di bulan Juli). Tuhan, jangan biarkan anak itu membuat tato di badannya. Tuhan yang Maha Pemurah, jauhkan dia dari pengedar narkoba. Tuhan, jagalah anak itu bila ia coba-coba untuk merokok, jadikanlah mulutnya pahit setiap kali ia mengisap barang tak berguna itu.Dan toloooong sekali Tuhan, jangan sampai dia kehilangan kegadisannya terlalu cepat. Seperti itu frustasiku sebagai orangtua tunggal. Sayang sekali, aku sama sekali gagal memprediksi tentang rambut yang dicat biru! Kau memang suka sekali bercanda, Tuhan. Maaf, agak kurang lucu. Tapi, sekalipun lelah otak sering berbanding terbalik dengan lelah badan, kegelapan malam punya cara-caranya sendiri untuk menghilangkan kesadaranmu. Begitulah aku malam itu.

Alarmku tidak berbunyi. Atau, aku yang tidak mendengarnya, Aneh juga, mengingat aku bukanlah seorang deep sleeper. Jam sembilan lewat. Memang sih, hari ini pesanan kue kering tidak banyak. Tapi, banyak atau tidak aku terbiasa bangun pukul enam pagi, seringkali mendahului alarmku. Apa rusak? Kulihat penanda digitalnya masih hitam jelas. Tapi kenapa tanda alarmnya off? Jelas bukan aku yang membuatnya off. Ah, dia lagi.

Citraku sudah meninggalkan rumah. Kulihat di jadwal mingguannya di kamarnya, hari itu ia ada kuliah Tata Kostum jam delapan pagi. Sorenya seperti biasa ia ada latihan teater untuk pementasan drama pertamanya minggu depan. Walaupun ia jarang bercerita mengenai kegiatan di kampusnya, aku tahu dari pembicaraan teleponnya dengan teman-temannya bahwa ia dipercaya menjadi sutradara. Agak sulit dipercaya bahwa anak pendiam itu bisa mengarahkan rekan-rekannya. Tapi bukankah Citraku memang penuh kejutan sepanjang sejarahnya menjadi anak? Ia mengingatkanku pada Mas Danang. Begitu banyak kesamaan di antara keduanya: sorot mata yang tajam menusuk, kecintaan mereka kepada film dan seni pertunjukan, dan kebiasaan mini kata mereka yang kadang membuat frustrasi. Aneh juga kalau dipikir-pikir. Padahal keduanya hampir-hampir tidak saling kenal di kehidupan ini. Hanya sepuluh bulan Citraku merasakan timangan papanya. Pastilah ia adalah anak yang luar biasa karena setahuku ialah bayi paling jarang menangis sekalipun ia harus kehilangan penjaga utamanya.

Di meja makan sudah ada air panas yang masih baru di dalam termos dan cangkir kosong dengan benang teh camomile celup menjuntai keluar. Manis sekali. Kutuangkan air panas dan segera aroma harum camomile menyeruak. Madu. Mana madunya? Seharusnya ia tidak melupakan detil penting yang satu itu. Baiklah, mungkin ia terburu-buru. Betapapun liarnya anak itu, aku tahu di lubuk hatinya, ia anak yang baik. Agak terlalu baik bagiku. Anakku. Guruku.

Alisku langsung terangkat sesaat setelah melongok ke lemari es untuk mengambil botol madu. Apa-apaan? Buku kumpulan dongeng anak-anak usang yang aku beli unuk hadiah ulang tahun Citra yang ke lima, ada di rak tengah, tepat di bawah botol maduku. Sontak aku berdoa semoga anakku tidak sedang terserang penyakit linglung dan meletakkan benda di tempat yang tidak seharusnya.Tolong, jangan ya, Tuhan, ia masih sedemikian muda, walaupun aku tahu terkadang ia terlalu pandai dan eksentrik. Mungkinkah ia sedang menyampaikan pesan? Tentu saja. Bukankah sudah sering kukatakan bahwa Citra adalah guru yang menyaru sebagai anak?

“Through the Fire,” dongeng gubahan Mary de Morgan yang menjadi pesannya. Ada amplop kuning kenari berisi undangan pentas drama musikal yang disutradarai Citra yang dijadikan pembatas di buku kumpulan dongeng itu. Citraku ingin aku membaca lagi dongeng tentang Pangeran Fluvius dan Putri Pyra itu. Salah satu dongeng favoritnya, yang sering kubacakan sebelum tidurnya. Baca pangeran air dan putri api lagi, Mama. Begitu ia memohon tanpa bosan. Dan sekarang, limabelas tahun berlalu, ia masih saja “memohon” aku untuk membaca cerita itu lagi. Kali ini untuk diriku sendiri. Ceritanya masih sama. Bukankah begitu? Si peri air dan putri api yang saling mencintai. Perbedaan bumi langit yang didamaikan, demi untuk kebersamaan. Undangan pementasan aku baca lagi. Judulnya: Through the Fire, the Story of My Parents. Sutradara: CC. Apa ini? Tampaknya Citra mengadaptasi dongeng anak-anak itu menjadi sebuah pementasan drama, dan ia ingin aku menghadirinya. Gadis kecilku yang kini menjelma bak Pangeran Fluvius berambut biru, kisah apa yang ingin kauceritakan padaku? Sekalipun itu parodi dan niatmu untuk menyindir ibumu yang membosankan dan kesepian ini, pasti aku akan menghadiri debutmu. Ah, aku rasa aku sudah tahu alasannya mencat biru rambutnya.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline