Lihat ke Halaman Asli

Aksi Unjuk Rasa Masyarakat Pulau Rempang-Galang sebagai Bentuk Penolakan Rencana Pembangunan Proyek Rempang Eco City

Diperbarui: 16 September 2023   05:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pulau Rempang merupakan salah satu wilayah yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini dikenal dengan potensi alam yang indah sehingga mendapat perhatian besar dari pemerintah pusat untuk dikembangkan menjadi kawasan ekonomi baru. 

Seperti informasi yang ramai diberitakan di berbagai platform media, diketahui bahwa proyek yang ingin diselenggarakan oleh pemerintah pusat tersebut ditolak oleh masyarakat Pulau Rempang. Proyek tersebut dikenal dengan nama Rempang Eco City yang dibangun oleh PT Megah Elok Graha (MEG), sebuah anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata untuk dijadikan kawasan industri, jasa, dan pariwisata. 

Ribuan warga Pulau Rempang menolak secara tegas proyek tersebut karena resiko yang harus mereka terima adalah ancaman direlokasi. Masyarakat bersama-sama melakukan aksi unjuk rasa untuk menolak proyek tersebut di depan Kantor Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) pada Rabu tanggal 28 Agustus 2023 lalu.

Aksi unjuk rasa tersebut merupakan bentuk pengajuan tuntutan warga setempat atas empat poin utama. Pertama, warga menolak tegas relokasi 16 titik kampung tua yang ada di wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang. Kedua, warga meminta BP Batam dibubarkan. Ketiga, warga meminta pemerintah untuk mengakui tanah adat dan ulayat warga. Keempat, warga meminta pemerintah untuk tidak bersikap mengintimidasi kepada warga yang menolak proyek tersebut (Tempo, 2023).

Aksi penolakan tersebut tentunya bukan tanpa alasan. Hal ini berkaitan dengan rentang sejarah yang mana mereka telah mendiami pulau tersebut sejak ratusan tahun lalu. Sementara itu, BP Batam baru dibentuk pada tahun 1970-an dan mulai membangun Batam. Artinya keberadaan kampung tua di wilayah Pulau Rempang sudah lebih dulu ada dibandingkan BP Batam terbentuk di tahun 1971.

Pembuktian kesejarahan masyarakat Pulau Rempang-Galang dapat ditemukan dalam catatan arsip Belanda dan Kesultanan Riau Lingga yang ditemukan sejak abad ke-19. Beberapa sumber catatan sejarah Belanda menunjukkan bahwa Pulau Rempang-Galang sudah ramai penduduknya dengan berdirinya 18 pabrik pengolahan gambir di tahun 1848. Beberapa produk olahan yang ada di Galang, Sembulang, Duriangkang, dan Mukakuning tidak hanya gambir, melainkan juga lada yang menjadikan Pulau Galang cukup terkenal pada masa itu.

Beralih ke tahun 1861, diketahui Raja Riau ke-10, yakni Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga dan Residen Belanda di Tanjung Pinang mengeluarkan sebuah plakat kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang, dan beberapa daerah lainnya di daerah Batam. Dalam plakat tersebut juga ditegaskan bahwa Kerajaan Riau Lingga akan memberi hukuman yang berat bagi siapa saja yang mengganggu usaha gambir tersebut.

Plakat ini yang kemudian dijadikan dasar legalitas lahan untuk daerah perkebunan. Sejak saat itu, terdapat dua etnis masyarakat yang mendiami wilayah Rempang-Galang, yaitu etnis Melayu dan Tionghoa. Dimana masyarakat Tionghoa menjadi tauke gambir, lada, dan ikan. Sedangkan masyarakat Melayu berfokus pada bidang nelayan dan pekerja di perkebunan gambir dan lada.

Secara administrasi, dahulu wilayah Rempang-Galang dikuasai oleh Belanda. Tepatnya ketika Kesultanan Riau Lingga bubar di tahun 1913, seluruh daerah Riau-Lingga terpaksa dikuasai oleh pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian setelah Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang beralih sepenuhnya milik pemerintah Indonesia, tepatnya oleh pemerintah daerah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Riau. Kemudian di tahun 1983 dibentuk Kotamadya Batam yang didalamnya bergabung dan terpisah oleh Kabupaten Kepri.

Penolakan masyarakat terhadap pembangunan model top down dengan alasan proyek strategis nasional tanpa mempertimbangkan pendapat masyarakat lokal tentunya memiliki resiko dan potensi konflik yang besar. Paradigma ini terus berkembang sejak Indonesia mengalami masa keterpurukan di sektor ekonomi pada tahun 80-an hingga 90-an, dimana pada masa itu Indonesia masih memfokuskan pola pertumbuhan ekonomi melalui prokapital. Model pertumbuhan ekonomi ini menimbulkan polemik ekonomi lainnya, seperti kemiskinan, deprivasi, dan eksklusi sosial. Tentunya penerapan model pembangunan ekonomi jenis ini mendapat kritikan, dimana pengukuran tingkat ekonomi hanya berdasarkan kuantitas semata bukan kualitas yang terlibat didalamnya.

Hal ini dapat dilihat dari pernyataan beberapa menteri yang sempat mengunjungi Pulau Rempang-Galang, seperti Menko Kemaritiman RI, Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Investasi/Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahidia yang selalu menyebut Pulau Rempang memiliki nilai investasi yang tinggi bagi para investor yang ingin menanamkan modal mereka di Indonesia. Pendapat ini juga disetujui oleh Gubernur Kepri dan Walikota Batam yang menyatakan harapan mereka untuk menjadikan Batam dan Kepri sebagai provinsi yang maju di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline