Lihat ke Halaman Asli

Mbah Putri

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13299875501085089631

“Nduk, tangi. Uwis esuk iki lho. Ayo subuhan disik,” lembut suara Mbah Putri terdengar memasuki indra pendengaranku.

Menggeliat malas, aku menarik kembali selimutku yang sedikit melorot, “Nghh~ nanti saja, Mbah. Aku masih ngantuk,” tolakku masih dengan mata terpejam.

“E’ee… ndak boleh begitu. Ayo bangun, nanti keburu tinggi mataharinya, keburu habis waktu sholatnya,” dengan sabar Mbah Putri terus berupaya membujukku.

Sedikit menggerutu aku bangun dari tempat tidurku. Bukannya aku tidak mau atau berniat melalaikan sholat, tapi ini masih terlalu pagi. Jarum jam dinding masih bertengger di angka empat, tapi kalau aku tidak segera bangun, simbah akan terus mengusik tidurku hingga aku bangun.

Berjalan terhuyung-huyung aku menuju ke kebelakang. Menguap berkali-kali aku bersandar pada pintu dapur. Rasanya mata ini masih tertempel erat oleh lem alteco. Beraaat sekali rasanya dibuka.

“Ealah, masih di sini tho, Nduk. Ayo sana wudhu,” Simbah tiba-tiba muncul di belakangku dan menepuk pundakku.

Aku mengeluh, “Iya sebentar, Mbah. Masih ngumpulin nyawa ini.”

Tersaruk-saruk aku berjalan ke kamar mandi. “Brrr… dingiiiin~,” desisku saat air yang mengalir dari kran menyentuh kulit tangannku.

Setelah kubasuh mukaku, aku menyegerakan berwudhu. Selesai wudhu, kulihat bak mandi yang airnya tinggal sedikit. Langsung kuputar kembali kran air untuk mengisi bak mandi. ‘Nanti usai sholat aku sekalian mandi saja,’ pikirku.

Dengan khusyuk aku menunaikan kewajibanku sebagai muslim—sholat subuh.

Baru saja aku usai berdoa, ketika kudengar teriakan histeris Bundaku. Terperangah, aku buru-buru melepas mukenaku dan berlari menuju ke arah sumber suara.

Di dapur kudapati Bunda tengah menangis di depan pintu kamar mandi, sementara Ayah tampak membopong Simbah masuk ke dalam.

“Ada apa, Bunda?” tanyaku panik.

“Simbah jatuh terpeleset di kamar mandi,” jawab Bunda di tengah isakannya. “Sepertinya ia ingin mematikan kran air, karena air dalam bak mandi meluber ke mana-mana, tapi Simbah malah terpeleset.”

Aku mematung di tempat. Seketika tubuhku serasa membeku. Simbah… terpeleset di kamar mandi… dan itu salahku. Tubuhku menggigil gemetaran. Aku yang teledor menyalakan kran air untuk mengisi bak mandi. Aku tidak menyangka kalau simbah akan… Kalau saja aku cepat mematikan kran itu… Secepat kilat aku menyusul Ayah dan Bunda masuk ke kamar Simbah.

Dari depan pintu, kulihat Bunda tengah mengganti baju simbah yang basah. Usai mengganti baju, Bunda langsung mengambil minyak tawon dan mengurut kaki Simbah. Sepertinya kaki Simbah keseleo. Aku menggigit bibir tak tega saat kulihat simbah merintih kesakitan.

“Kenapa kamu berdiri di situ, Nduk? Ayo sini,” panggil mbah putri.

Perlahan aku berjalan mendekat dan duduk bersimpuh di samping Simbah. Air mataku mengalir tak terbendung.

“Kenapa kamu menangis, Nduk? Simbah ga papa. Tidak usah menangis,” kata simbah sambil mengelus lembut rambutku.

“Maafin, Rury, Mbah,” kataku terisak. “Gara-gara Rury, simbah jatuh di kamar mandi.”

“Sudah... sudah. Wong simbah ga papa kok,” kata simbah tersenyum. “Kamu sudah sholat, Nduk?”

Aku mengangguk, “Sudah, Mbah,” jawabku tersenyum. ‘Syukurlah, simbah tak apa-apa. Terima kasih, ya Allah,’ ucapku dalam hati. Aku pasti tak akan bisa memaafkan diriku seandainya saja terjadi sesuatu pada Simbah.

.

.

“Sugeng enjing, Mbah,” sapaku pada mbah putri yang tengah tiduran di kamarnya.

Simbah menoleh dan tersenyum padaku, “E’ee… Cah ayu. Tumben jam segini sudah bangun?”

Aku tersenyum, “Iya dong, Mbah. Cucu siapa dulu?” kataku bangga. “Simbah belum sholat ‘kan? Karena simbah belum bisa jalan, aku bantu tayamum dan pakai mukenanya ya?”

Simbah tersenyum dan mengangguk. Jika biasanya Simbah yang tak pernah absen membangunkan dan mengingatkanku untuk tidak meninggalkan sholat, kali ini, aku yang akan menggantikan Simbah melakukannya hal serupa. Usai membantu Simbah sholat subuh, aku tiduran di sampingnya.

“Mbah… aku sayang, Mbah,” kataku sambil memeluk simbah erat-erat.

Simbah hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk lembut kepalaku.

.

.

Tuhan… jika aku boleh meminta…

Anugerahkanlah umur panjang dan kesehatan pada simbah.

Ijinkanlah aku menjadi cucu yang baik untuk beliau.

Sekuno, secerewet, dan sekolot apapun beliau

Aku menyayanginya…

.

.

Glossary

Simbah: Eyang

Nduk, tangi. Uwis esuk iki lho. Ayo subuhan disik:Nak, bangun. Sudah pagi sekarang. Ayo sholat subuh dulu.

Sugeng enjing, Mbah:Selamat pagi, Mbah

(Solo, 23 Februari 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline