Lihat ke Halaman Asli

Pikohidro dan Gula Jawa

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14091981812114537346

[caption id="attachment_321298" align="aligncenter" width="448" caption="© Rida Nurafiati"][/caption]

Oleh : Agung Hidayat (Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM)

“Ini gamping, biar niranya tidak cepat mengeras,” jawab Siswanto saat saya keheranan dengan cairan yang dituangkan ke dalam wadah-wadah bambunya. Pak Sis, begitu panggilan akrabnya, ialah satu dari ratusan pria di Desa Gumelem Kulon, Kabupaten Banjarnegara yang bermata pencaharian sebagai pembuat gula jawa. Gula kelapa yang manis tersebut diproduksi dengan mengandalkan kekuatan otot pria berusia 35 tahun ini. Pekerjaan ini memerlukan ketangkasan dan kelihaian dalam memanjat setiap pohon kelapa. Air nira sebagai bahan utama gula harus disadap satu persatu setiap pohonnya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, Pak Sis bisa naik-turun pohon sedikitnya 30 batang dalam satu hari.

Nderes lagi Pak?,” tanya saya kembali. Nderes ialah istilah untuk aktivitas mengambil nira dengan memanjat pohon kelapa. “Udahan dulu, hari mau maghrib,” balasnya. Bunyi wadah bambu pun beradu meninggalkan saya dari Pak Sis yang pulang menghimpun nira untuk dimasak dan dicetak. Suara Adzan segera memecah pebukitan yang di sebelah baratnya berdiri tegak Gunung Slamet.

Sampai di rumah, Pak Sis bersiap membersihkan diri dan menunaikan ritual shalat maghrib. Udara bukit pada musim kemarau malamnya lebih dingin ketimbang musim hujan. Angin-angin perbukitan dengan tangkas meraung-raung. Saya memilih untuk memakai jaket tebal dan membebat sarung guna menahan dingin. Usai Shalat di Masjid, Pak Sis tengah bersiap melinting tembakau dengan tambahan cengkeh kesukaannya. Tak lupa pula televisi yang dihidupkan di ruang tengah. “Dulu listrik PLN belum nyampe sini mas,” cerita Pak Sis. Tiang-tiang listrik yang ada di sepanjang jalan terjal menuju Kawasan Wanarata ini dua tahun yang lalu belumlah ada. Butuh tiga puluh orang berperawakan seperti Pak Sis yang berotot liat untuk menggotong tiang dari Desa di bawah bukit, Gumelem Wetan. Sebelumnya tiang-tiang tersebut sempat dianggurkan di tengah jalan. Lantaran ketidakmampuan kendaraan pengangkut melintasi jalan tanah berbatu ini. Dimana kiri bertemu tebing yang rawan longsor, sedangkan kanan sudah mencium bibir jurang nan terjal.

Jika melihat ke bawah jurang, tampak aliran air dari sungai kecil yang deras meliuk-liuk bagai ular di sepanjang pebukitan. Sungai itu berasal dari sungai-sungai yang lebih kecil lagi dari kawasan di atasnya. Dengan aliran deras itu, berdirilah sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro (PLTPh). PLTPh ialah penghasil daya listrik skala sangat kecil dan bermekanisme sederhana. Penggunaannya sudah ada sebelum listrik PLN masuk ke kawasan ini. PLTPh, yang kerap disebut masyarakat kincir, bukanlah cara terawal dalam menikmati listrik. Dulu, Pak Sis dan warga lainnya di awal tahun 90-an harus mengalirkan listrik dari Gumelem Wetan hingga Wanarata dengan gulungan kabel sepanjang 1000 meter lebih. “Pemasangannya sangat memakan biaya. Untungnya satu gulungan kabel bisa dibagi untuk tiga rumah,” kenang Pak Sis. Saat itu satu gulungan kabel memenuhi kebutuhan rumahnya, rumah mertuanya, serta rumah saudaranya yang saling bertetangga.

[caption id="attachment_321299" align="aligncenter" width="448" caption="© Rida Nurafiati"]

14091982641162196976

[/caption]

Hingga pada akhirnya, pemakaian PLTPh mulai digunakan beberapa warga Wanarata. Walau listrik PLN sudah masuk, pemakaian PLTPh belum ditinggalkan. Beberapa warga, yang juga berprofesi seperti Pak Sis, masih mengandalkan listrik dengan daya 200 watt dari PLTPh guna menghidupi peralatan elektronik seperti lampu dan televisi. Bahkan beberapa PLTPh menghasilkan daya di atas 400 watt yang bisa digunakan untuk penanak nasi elektrik (rice cooker). Bahkan sudah ada yang menggunakannya lebih dari 10 tahun. Dari penelusuran yang saya lakukan, cukup sulit untuk menggambarkan sejarah awal penggunaan PLTPh di Gumelem Kulon ini. Lantaran banyaknya cerita dari mulut ke mulut yang tidak mendapat verifikasi serta tidak pula didokumentasikan.

Pak Sis sendiri turut menggunakan PLTPh, walaupun saat ini telah beralih menggunakan listrik PLN. ia menggunakannya dari 2005 hingga 2012. Lantaran daya yang didapat sering kali tidak mencukupi kebutuhan peralatan elektronik rumah tangga, maka saat listrik PLN masuk Pak Sis pun beralih. “Saat memakai PLTPh penggunaan sangat terbatas hanya pada dua lampu neon dan satu televisi,” terangnya. Saat itu alat setrika dan penanak nasi elektrik (rice cooker) tidak bisa digunakan karena keterbatasan daya dari PLTPh miliknya

[caption id="attachment_321300" align="aligncenter" width="448" caption="© Rida Nurafiati"]

14091983351580992966

[/caption]

Sekarang, Pak Sis telah berniat kembali memasang PLTPh yang sudah ditinggalkan dua tahun lalu. Bukan untuk kebutuhan pribadi, melainkan untuk penerangan jalan di kawasan Wanarata. Sepanjang jalan tanah berbatu yang sempit ini belum mendapatkan penerangan. Sehingga malam hari sangat sulit menapaki jalannya tanpa alat bantu semacam senter. Niat tersebut disokong pula oleh ide dari mahasiswa-mahasiswa yang tengah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Gumelem Kulon saat ini. Teman-teman dan saya yang mulai dari bulan Juli-Agustus telah merasakan kehidupan bersama warga sebagai bentuk program KKN-PPM UGM 2014 dengan kode unit JTG 21. Alhasil, PLTPh yang kami desain dan pasang kembali mampu menghasilkan tegangan hingga 120 volt. Dengan hasil tegangan itu, 12 titik jalan di Wanarata telah diterangi oleh lampu LED.

Koordinator Mahasiswa Unit kami, Ahmad Saifurrasyid menyatakan, kehadiran PLTPh dapat menjadi solusi bagi daerah pelosok untuk menghasilkan energi terbarukan. Harapannya masyarakat bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan kemampuan ekonomi. Industri rumah tangga dapat digalakkan dengan mengandalkan energi milik sendiri yang ramah lingkungan. Bahkan, energi ini dapat dijual kepada perusahaan negara. “Dengan mengandalkannya, kemandirian energi di tengah masyarakat bukanlah hal yang mustahil,” pungkas Ahmad.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline