Lihat ke Halaman Asli

[Bulan Kemanusiaan RTC] Mengadu Pada Ibu di Atas Pusaran Makamnya

Diperbarui: 27 Juli 2016   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi : republika.co.id

Sore itu, langit gelap tersaput awan. Riuh angin bertiup semilir. Dedaunan sekitar beterbangan bebas di udara. Angin berhembus kencang membawa pergi daun yang jauh entah kemana.

Seorang wanita datang mengunjungi sebuah makam, tanpa ada yang menemani. Antika namanya, ia adalah salah satu pegawai yang berprestasi di tempatnya bekerja. Karirnya sangat cemerlang, ia dipercaya memegang jabatan sebagai manajer di tempatnya bekerja. Jabatan dalam lingkup perusahannya terbilang cukup tinggi diantara teman sebayanya.

Ia berdiri di sebuah makam, ia tajamkan pandangannya ke arah nisan penuh pilu. Seketika badannya ia jatuhkan, lututnya meringkuk sembari memegang nisan makam. Air mata mulai menetes merasakan haru duka sembari merintih dan mengadu dihadapan makam yang tidak lain adalah ibunya.

“Ibu sudah lima belas tahun ibu pergi meninggalkanku. Dahulu sebelum ibu pergi ibu pernah berpesan padaku bahwasanya apa yang ibu rasakan akan juga kurasakan. Virus yang mendiami tubuhku berasal dari ibu perlahan akan tumbuh berkembang biak, dan aku diharuskan untuk bertahan apapun keadaannya. 

Namun sampai saat ini aku belum merasakan seperti apa yang sudah ibu rasakan dahulu, semua itu terlihat dari kebugaran badanku. Belum ada tanda apapun yang muncul dari dalam maupun luar tubuhku. Tetapi tahukah engkau ibu, saat ini setiap harinya aku harus menelan kapsul yang besarnya sebesar ibu jari. Aku harus rutin meminumnya, karena ini untuk kekuatan dan daya tahan tubuhku agar bisa melakukan aktivitas sehari-hari.

Ibu, hari ini aku berkunjung ke tempat peristirahatanmu tidak lain adalah ingin mengadu. Aku sudah besar dan dewasa, aku sudah memiliki penghasilan yang cukup, dan aku juga sudah mencapai apa yang ku inginkan. Aku memiliki karir yang cemerlang pada pekerjaanku. Gajiku terbilang lebih dari cukup jika hanya digunakan untuk kebutuhanku sehari-hari.

Namun, semuanya masih terasa kurang dan jauh dari kata sempurna. Dengan pencapaianku yang demikian rupa, tidak membuat aku merasa puas dan bahagia. Masih ada keganjilan dalam hati dan diri untuk bisa merasakan sensasi kebahagiaan.

Apakah engkau tau apa yang kuinginkan wahai ibu?

Ibu, aku ingin merasakan cinta, aku ingin memiliki keturunan, aku ingin mencapai titik kebahagiaan tertinggi. Namun aku terjebak dalam dilema kehidupan saat ini. Dengan adanya penyakit yang mendiami tubuhku, aku merasa bersalah jikalau harus menularkan kepada orang yang kucintai kelak. Bahkan, semua keturunanku juga akan mendapatkan imbas dari penyakit yang kuderita saat ini.

Lantas aku harus berbuat apa ibu?

Diatas nisan ini aku berseru mengadu perihal masalah problematika kehidupanku ibu. Aku tidak menyalahkanmu karena melahirkanku memiliki penyakit akibat perbuatanmu dahulu. Walaupun aku harus terlahir dan besar dengan menempelnya segala virus ini aku tidak merasa keberatan dan selalu mensyukuri kehidupan. Karena aku mampu bertahan hingga sebesar ini, dimana pada umumnya orang yang menderita penyakit HIV/AIDS stadium akhir tidak memiliki banyak waktu untuk terus bertahan hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline