Lihat ke Halaman Asli

Agi Tiara

Blogger, Mediator, Penggemar Ikan Ayam-Ayam

Danone Blogger Academy 3 dan Perspektif Baru Soal Sampah

Diperbarui: 8 September 2019   18:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Danone Blogger Academy 3, Dok. Danone

"Ilmu itu datang dari mana saja," begitu tutur teman baik saya di suatu senja yang cerah, "bahkan kadang kamu bisa mendapatkan ilmu dari seonggok sampah"

Saya tak pernah menganggap kalimat tersebut secara harfiah. Toh, meski memang betul kita dapat belajar dari seonggok sampah, tapi saya tak menyangka akan betul-betul (dan saya garis bawahi, betul-betul) belajar dari sampah betulan.

Ada sebuah kalimat yang cukup menohok dari Pak Arif Mujahidin dari Danone di pembukaan acara Danone Blogger Academy angkatan ke 3 di Bali tanggal 29 Agustus lalu, "saat ini kita belum bisa betul-betul 100% bebas dari sampah plastik, tapi ada bagusnya kita pelan-pelan berupaya untuk mengatasi sampah plastik ini"

Saya selalu merasa diri saya adalah pegiat gaya hidup yang ramah lingkungan, merasa sedikit tertohok. Industri plastik bukanlah industri yang minim modal. Ada banyak sekali pihak yang terlibat didalamnya. Penggunaan plastik sekali pakai--suka atau tidak suka--juga masih menjadi kebutuhan yang sulit untuk digantikan. 

"ah, itu semua kan perspektif usahawan saja," kata kalian, "pengusaha aja yang males mengganti alternatif"

Betul bisa digantikan, tapi tentunya akan dibarengi dengan kenaikan harga dan modal usaha. Ibu warung makan didepan rumah saya, contohnya. Beliau masih memilih menggunakan kemasan plastik sekali pakai karena memang lebih mudah didapatkan ketimbang daun pisang, misalnya. Dari segi higienitas pun masih sulit rasanya mencari pengganti plastik. Itu baru kemasan makanan, belum peralatan elektronik, kosmetik, obat-obatan dan masih banyak lagi.

Saya melirik tuts keyboard yang saya gunakan saat ini. Betul juga, benda yang selalu saya pakai setiap hari ini terbuat dari plastik. Demikian pula dengan telepon genggam, jam tangan, bahkan tempat minum yang selalu saya gunakan untuk mengurangi penggunaan air minum dalam kemasan. Semua dari plastik. Lalu saya harus bagaimana?

"Tapi kan mereka nggak sekali pakai," batin saya berusaha menghibur diri, "mereka nggak bakal kamu langsung buang setelah masa penggunaannya habis,"

 Pada kenyataannya, menurut The World Economic Forum di tahun 2015, industri plastik menghasilkan 448 juta ton sampah setiap tahunnya dan diproyeksi meningkat 3,8% per tahun hingga tahun 2030. Dari jumlah ini, hanya 9% yang didaur ulang dan 12% yang dibakar. Jadi bayangkan dari 448 juta ton plastik hanya sekitar 40 juta ton yang didaur ulang. 

Kalau kalian pikir angka ini kecil, berarti kalian gila. Bayangkan 40 juta truk tronton berjejer di sepanjang pulau jawa. Sebanyak itu jumlah sampah yang bisa didaur ulang. Nah bayangkan sampah yang tidak bisa didaur ulang maupun dibakar sebanyak apa.

Ini bukan ndobos ya, kalian bisa baca sendiri sumbernya disini. Mungkin teman-teman yang sudah sering membaca blog pribadi saya bingung, kenapa kok tiba-tiba saya sok-sok an ngomong serius dan pakai data di Kompasiana--semua karena Kang Pepih Nugraha memberi materi pada kami untuk selalu membiarkan data berbicara. Pan enggak boleh curhat (doang).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline