Lihat ke Halaman Asli

Agis Ahmad Fauzi

Universitas Siliwangi

Harsa yang Dahulu

Diperbarui: 27 Juni 2022   23:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kerlip bintang menghiasi malam, ditemani sang rembulan yang membuat malam semakin menenangkan. Semilir angin merasuk jauh kedalam, henignya suasana membuat suara jangkrik terdengar jelas di telinga.

Semakin larut semakin dingin, memeluk tubuh agar hangat. Memandang langit malam yang dihiasi cahaya zodiak. Semakin lama semakin berubah, rasa senang seketika menjadi duka. Mengingat akan derita yang pernah menyapa, menembus batin retisalya menganga.

Rodranya sang buana pada insan yang tak berdaya. Memaksa kuat daksa letih tak terkira. Sakit, sakit, sakit. hanya itulah yang terasa, terbaring lemah dibawah indurasmi tanpa suara.

Burung hantu menatap tajam kearah mata, seakan mengisyaratkan untuk menyerah saja. Tidak! Menyerah bukanlah sifatku, bukan pula bakatku. Namun terkadang...... aku ingin melakukan itu, akan tetapi atma yang membara tak mengizinkanku. "teruslah berusaha!" bisikan itu jelas terdengar di batinku.

Entahlah, terkadang aku tak bisa mengerti diriku, aku tak mengerti apa mau diriku. Semua kuserahkan melalui astu pada yang satu. Berharap anca bisa kulewati tanpa ragu, merubah derita hidup menjadi harsa yang dahulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline