Pengertian kampung secara general belum disepakati secara pasti oleh pakar-pakar ekonomi. Namun, ada beberapa pakar yang mendefinisikan kampung sebagai berikut; Kampung merupakan kawasan hunian masyarakat berpenghasilan rendah dengan kondisi fisik kurang baik. (Budiharjo, 1992); Kampung merupakan kelompok rumah yang merupakan bagian kota biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah (KBBI). Menurut Hendrianto (1992) perbedaan yang mendasari tipologi permukiman kumuh adalah dari status kepemilikan tanah dan Nilai Ekonomi Lokasi (NEL).
Dari beberapa pengertian kampung tersebjut, dapat disimpukan bahwa kampung adalah kawasan hunian masyarakat yang berbentuk pemukiman dengan beberapa ciri, yaitu bangunan rumah yang tidak beraturan, lingkungan yang tidak baik, dan sarana-sarana yang belum memadai, seperti air bersih, drainase, listrik, dan pembuangan sampah.
Di Gorontalo yang merupakan daerah kecil, sudah muncul beberapa kampung yang bisa dikatakan kumuh. Banyak masyarakat pendatang yang tinggal di sana. Urbanisasi menjadi penyebab dari munculnya kampung kumuh ini. Mereka beranggapan bahwa Gorontalo bisa menjadi daerah yang besar dan menyediakan banyak lapangan pekerjaan. Namun, hal ini justru menimbulkan permasalahan kota yang sulit untuk diatasi. Beberapa kampung yang terbentuk berada di kawasan perdagangan, seperti pada Kelurahan Limba B dan Kelurahan Biawu Kecamatan Kota Selatan.
Pada 2 kelurahan tersebut, kepadatan bangunan cukup tinggi sehingga jarak antar rumah menjadi sempit. Hal tersebut mengakibatkan cahaya matahari sulit masuk dan hawa lembab menimbulkan bakteri. Pada 1 rumah bisa dihuni oleh 9 orang. Hal itu jelas tidak memenuhi standar rumah. Rumah hanya 1 lantai dengan 3 ruang utama, yaitu ruang tamu, ruang tidur, dan dapur. Sedangkan kamar mandi atau toilet berada di luar rumah. Namun, ada juga yang bertempat di dalam. Keadaan itu memicu terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat.
Material bahan rumahnya pun masih semi permanen yang berdindingkan triplek dengan lantai semen. Pada dasarnya perkampungan ini muncul akibat dari aktivitas perdagangan, pertokoan, dan perkantoran masyarakat. Rumah tidak hanya sebagai tempat hunian, namun juga sebagai tempat mencari nafkah.
Dari akses jalan di 2 kelurahan tersebut, yaitu Kelurahan Limba B dan Kelurahan Biawu Kecamatan Kota Selatan sudah cukup baik. Pemerintah membangun akses jalan dari pengerasan beton yang cukup untuk dilalui sepeda motor.
Di samping jalan terdapat selokan air yang sudah tidak lagi lancer bahkan sudah tersumbat. Hal itu sangat mencuri perhatian karena kebiasaaan masyarakat yang kurang perhatian soal sampah. Jalan ini tidak hanya berfungsi sebagai akses kendaraan, namun juga dijadikan tempat nongkrong anak muda, area sosialisasi ibu-ibu, dan tempat bermain anak-anak setempat. Bahkan, pinggiran jalan dijadikan sebagai tempat menjemur pakaian. Keadaan tersebut membuat jalan semakin sempit dan membahayakan keselamatan.
Dari ketersediaan drainase di kelurahan ini cukup disayangkan. Padahal, pemerintah telah berusaha memperbaiki dan memfasilitasi drainase ini. Ada 2 jenis saluran drainase dan got, yaitu terbuka dan tertutup. Bahan saluran terbuka terbuat dari buis beton.
Sedangkan untuk saluran tertutup, masyarakat membuat penutupnya dari papan kayu, beton cetak, dan pengerasan semen. Keadaan drainase dan got sudah tidak sesuai fungsinya. Masyarakat membuang sampah dan limbah sembarangan pada saluran-saluran tersebut. Mereka yang mempunyai usaha rumah makan sering membuang air cuci piring. Ibu-ibu rumah tangga membuang air detergen dan air sisa mencuci sayuran. Hal itu menimbulkan bau yang tidak sedap, kekeruhan pada air, dan penyumbatan saluran. Bahkan, masyarakat menggunakan drainase sebagai tempat bersantai dengan menambahkan tutup di atasnya.
Dari pemaparan kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang tinggal di Kelurahan Limba B dan Kelurahan Biawu ini memadat sehingga lahan menjadi sempit dan hampir tidak adanya ruang terbuka. Kebanyakan dari mereka merupakan pendatang yang diakibatkan urbanisasi. Mereka mencari tempat tinggal yang dekat dengan aktivitas perdagangan, pertokoan, dan perkantoran dengan biaya yang minim. Dikarenakan ekonomi yang kurang, mereka membangun rumah seadanya.
Mereka membuka kios-kios dan tempat makan di rumah tersebut. Tak jarang juga timbul kemacetan di jaringan jalan karena padatnya penduduk dengan aktivitas mereka. Jika dibiarkan, maka perkampungan ini akan semakin sempit dengan segala permasalahan kependudukan yang kompleks. Dibutuhkan peran pemerintah yang tegas dan inovatif sehingga perkampungan tersebut menjadi sehat dan layak dihuni.