Lihat ke Halaman Asli

Graduation Celebration

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trust me.

Jadi sarjana itu nggak seindah yang anda bayangkan. Ya, lega sih, udah nggak ada tugas, quiz dadakan, praktikum segambreng, nongkrong di leb sampe malem, atau bangun kesiangan dan berangkat kekampus grasa-grusu gapake mandi gara-gara telat.

Sekarang kondisi sudah terbalik men!. Tidur seenak jidat, bangunnya apalagi. Jangan pikir karena guwe ini cewe jadi idup guwe disiplin atau teratur, bahkan temen laki guwe aja sering ngomel gara-gara gaya idup guwe yang semrawut, *ay know ay know...*.

Jelasnya sih enaknya udah lulus itu pastinya adalah udah nggak ada beban buat bayar uang SPP dan urunan-urunan laennya. Jadi rasanya udah lepas beban deh. I am freeeeee *APA IYA???*.

Bentar dulu.

As i said you first, jadi sarjana itu nggak seindah yang dibayangkan. Indah kalo terjadi Cuma seminggu kali yah? Karena apa sebabnya?.

Menurut pengalaman guwe sendiri memasuki tahap minggu kedua, pikiran rasanya mengerdil, otak nggak dipake buat mikir, menganalisa, menemui hal baru, atau bersitegang dengan soal-soal. Semua sekarang berpokus Cuma ke satu hal : nyari kerjaan. God damn! Ternyata kegiatan ini lebih menyiksa ketimbang berjuang menghadapi revisian. Setiap bangun galau, setiap menjelang tengah malem tambah setress dan kepikiran, akhirnya ga bisa tidur dan baru mengantuk pas adzan subuh. Waaakkk!! Could you imagine that kinda life? Geezzz...

Oh iya, i almost skipped these one; hal yang menyenangkan dari menjadi sarjana adalah itu menjadi penanda kita sudah terbebas dari beban skripsi dan pendadaran, oh my sweetness goddess, guwe rasa itu adalah madunya lulus dari kampus. Berasa pecah telor selusin dahh!.

And then, when we back again. C’mon, sadar atau tidak, mereka yang sudah ditetapkan lulus dan menjadi sarjana melepaskan beban kuliah dengan lega untuk memakai beban yang baru : The real life, the real battle, the real jungle. Yap, jungle. Karena disini kita akan belajar langsung pada pengalaman, nggak ada dosen, dan nggak ada asisten, di jungle ini kita nggak akan bisa ngelaba kalo kita lagi salah, nggak kaya dulu pas masih jadi mahasiswa masih punya alibi “Kita kan masih belajar, jadi wajar aja kalo salah”. Now? Nggak bisa kaya gitu. Salah? Hukum pancung!!!. Ya ngga gitu juga sih, salah ya berarti kita nanggung risk. Kaya apa? Ya tergantung juga, kita salahnya apa, dimana, dan siapa yang punya kuasa terhadap job kita.

Dan eniwey ya, ngomong-ngomong perkara kelulusan selalu mebahas tentang akan menjadi apa kita kelak; bagaimana menjadi manusia yang sebenarnya. Saat ini kepala guwe ditumbuhi pertanyaan baru, seringkali muncul pernyataan, “Jadilah diri sendiri”, dan banyak yang ngomong begini sama kita, entah itu guru, dosen, ibu bapak, atau emak dan abah : “Jadilah manusia yang berguna bagi negara dan agama”.

Yang harus didahulukan poin yang mana tuh? Yang pertama apa yang kedua? Kalo seandainya seorag anak terjebak dalam fakta jadilah diri sendiri kemudian dia memutuskan untuk operasi kelamin dan menjadi model papan atas, apakah keluarganya akan bilang kalau dia ini anak yang berguna bagi nusa dan bangsa?.

Kalo seumpama, si anak memakai poin kedua, i believe that they would be loved by people, terserah dia jadi apa, pengusaha, dokter, suster, perawat, guru matematika, guru olahraga, dokter gigi, guru ngaji, dokter kandungan, dokter hewan, ilmuwan, atau petani sayur. Hanya saja, apa dengan menjadi seorang yang berguna bagi nusa dan bangsa lantas menjamin dia akan hidup bahagia? What i mean here is, saat orang-orang disekitarnya berbahagia berkat kehadirannya, apakah dia sendiri juga tersenyum dalam hatinya? Sementara dirinya ingin menjadi pelukis? Sementara hati kecilnya tak pernah suka dengan seragam kantor, karena nyawanya adalah hutan dan gunung yang harus dijelajah. That was complex, dan akan lebih kompleks lagi kalau ternyata keinginan dirinya sama sekali bertentangan dengan keinginan keluarganya, yang sangat dicintai dan tak ingin disakitinya. Hell yeah.

The conclusion is, first expression and the second undeserved in same time, places, and people. Yet, the effect of that expression will be different for each people. Sekian analisa saya.

*ngeregangin jari jemari dan punggung*. Jadi, kembali lagi ke tema awal *yeah, this is always be like it, out of topic* guwe emang selalu overlap kalo lagi apa-apa. Huffff...

Pernahkan anda yang mahasiswa berpikiran ingin kembali ke masa SMA? Atau pernahkan berpikir untuk cepat lulus? *ya ealaahhh*. Begitu pula yang terjadi saat kita SMA, berpikir ingin sekali jadi SMP lagi, saat mata pelajaran bahasa indonesia nggak rumit dan mudah dimengerti, saat pelajaran IPA dan IPS nggak bikin kepala botak, dan masa-masa unyu dimana muka jerawatan pun nggak akan jadi masalah. Pun, saat SMA muncul keinginan untuk segera kuliah, bertemu teman baru, dunia baru, kecengan baru, dan bebas dari seragam monoton dari senin sampe sabtu *Hey, i love to use that uniform*. Dan oh iya, kuliah lebih enak karena hari belajarnya Cuma senin sampe jumat doang.

Anak SMP? Ask yourself, karena even me, pernah berpikir hal yang sama, yang ternyata nggak disadari ini terjadi berulang, ternyata memori kita pun bekerja siklis, berputar-putar saja dalam bentuk yang sedikit berbeda, hanya saja sering tak kita sadari.

Satu hal yang menjadi kesimpulan dari fakta di atas adalah kita manusia punya kecenderungan untuk lari dari keadaan. Mengharapkan yang lain karena yang dialami saat ini ternyata tak menyenangkan, kemudian muncul keinginan untuk mengulang masa lalu yang ternyata lebih indah kalau dipikirkan lagi. Atau berharap tahun depan muncul lebih cepat karena hari esok selalu menyediakan kejutan dalam setiap misterinya. Kita selalu ingin bahagia dan tertawa. Ingin nyaman dan terlindung, tapi hidup yang dijalani seringkali tak sesuai harapan. Terlalu menyakitkan dan mengerikan, atau mungkin too bored.

Sejauh yang guwe inget dalam perjalanan hidup guwe, fase sekolah yang nggak pernah bikin guwe ingin melarikan diri adalah jaman guwe TK. Menari, bernyanyi, menggambar, belajar nulis, didongengin sama ibu guru, dan bawa bekal pas hari jumat, isinya kadang nasi goreng, tumis sayur, telor dadar, atau bahkan Cuma mie goreng. But admit it, you love this time yep?.

Saat tak ada banyak tekanan, saat pola berpikir kita adalah rumah, sekolah, pulang, makan, main, ngaji, dan tidur. Tak ada galau, tanpa cemburu, tak ada persaingan antar geng, dan tak ada beban pikiran untuk masa depan.

Sepertinya pendidikan di kita harusnya lebih banyak mengadaptasi gaya mendidik saat TK kali yah? Pengajar bukan hanya menyuapi murid dengan ikan goreng, tapi mengajari murid belajar memancing, meminjamkan pancing dan umpan, kemudian mengajak ke kolam ikan untuk bersama-sama memancing ikan disana.

Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline