Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar "AI" dan "emosi" dalam satu kalimat? Apakah ini terdengar seperti film fiksi ilmiah yang terlalu futuristik? Nyatanya, di era digital seperti sekarang, kombinasi AI dengan aspek emosi bukan lagi sesuatu yang mustahil. Bahkan, beberapa perusahaan teknologi besar sudah mulai merambah wilayah ini, yakni merancang algoritma yang bisa "merasakan" dan "merespons" emosi manusia. Chatbot adalah salah satu contohnya.
Lalu, bisakah AI benar-benar menggantikan sentuhan manusia, khususnya dalam negosiasi bisnis yang sering kali melibatkan permainan emosi? Mari kita bedah lebih dalam melalui 5 aspek penting berikut.
#1. Pemahaman AI tentang Emosi: Apakah Memadai?
AI memang pintar. Sangat pintar. Namun, seberapa dalam pemahaman AI tentang emosi manusia? Dalam jurnal yang ditulis oleh Cowen & Keltner (2017), emosi manusia dibagi menjadi 27 kategori, dan ini adalah tantangan besar bagi AI. Meski algoritma mampu mengenali pola, apakah mereka bisa merasakan emosi di balik kata-kata yang diucapkan?
Bayangkan sebuah negosiasi bisnis yang krusial. Di satu sisi, AI bisa menganalisis data lebih cepat dari manusia dan membuat keputusan yang "logis". Tapi di sisi lain, emosi adalah elemen penting yang sering kali menjadi penentu akhir negosiasi. "Kepintaran logis tanpa hati sama seperti mendengarkan musik tanpa melodi," kata Antonio Damasio, seorang ahli neurologi.
#2. Fleksibilitas dalam Respon, Kekuatan AI atau Kelemahan?
Manusia memiliki kelebihan besar dalam fleksibilitas berkomunikasi. Ketika lawan bicara tiba-tiba mengubah sikap atau strategi dalam negosiasi, manusia bisa langsung beradaptasi. Nah, bagaimana dengan AI?
AI memang bisa diprogram untuk merespons perubahan cepat, tapi masih dengan aturan yang rigid. Dalam bisnis, negosiator sering kali menggunakan taktik soft power, membujuk dengan emosi dan persuasi halus. AI bisa merespons dengan data akurat, namun tanpa kelembutan atau intuisi.
Bayangkan AI menghadapi klien yang tiba-tiba emosional. Apakah AI akan tetap teguh pada analisis logisnya atau bisa memahami perasaan sang klien? Bayangkan AI sedang bernegosiasi lalu dia berbicara, "Aku tidak tahu perasaanmu, tapi data menunjukkan kamu harus setuju.". Nah, bagaimana itu?
#3. Kecerdasan Emosional (EQ), Apa yang Masih Hilang dari AI?
Emosi dan kecerdasan emosional (EQ) adalah salah satu aspek terpenting dalam interaksi manusia. Dalam negosiasi bisnis, kemampuan membaca perasaan lawan bicara, menyesuaikan nada bicara, dan merasakan suasana adalah hal yang tidak bisa dianggap remeh.
AI mungkin bisa memahami ketika seseorang marah atau sedih berdasarkan data analitik atau suara, namun apakah AI bisa memberikan empati yang tulus? Ini menjadi pertanyaan besar. "Technology is a useful servant but a dangerous master," kata Christian Lous Lange. Apakah kita benar-benar ingin sepenuhnya menyerahkan keputusan yang mengandalkan perasaan kepada mesin?