Hajatan elektoral pemilu 2024 sudah selesai. Paling tidak itulah yang terjadi bagi sebagian besar pemilih di republik ini. Entah hasilnya (versi hitung cepat / quick count) sudah tertebak atau mengagetkan bagi sebagian kalangan, namun kontestasi pemilu kali ini memang penuh dengan cerita.
Dari pemilu ke pemilu, kehadiran lembaga survei tidak bisa dipungkiri memiliki andil besar dalam menyemarakkan pesta demokrasi ini. Publik tidak lagi harus menunggu berhari-hari untuk melihat hasil akhir perhitungan suara. Tidak perlu menunggu versi KPU, tapi lembaga survei sudah memberikan kisi-kisinya.
Bagaimanapun, quick count memang tidak akan pernah bisa menjadi rujukan keputusan resmi pemenang pemilu. Ia hanya sebuah cuplikan sekilas yang didapat melalui metodologi statistik. Hasilnya mungkin mendekati kenyataan. Meski tidak menutup kemungkinan terjadi deviasi didalamnya.
Hanya saja, menurut saya pribadi keberadaan lembara survei ini justru menyebalkan. Keberadaannya cenderung mengarah sebagai corong propaganda ketimbang sebagai referensi publik pemilih. Bahkan sebelum hari H kontestasi berlangsung pun kita seolah sudah diberikan hasil akhirnya. Ada banyak psywar dilayangkan bermodal angka-angka survei.
Saya tidak bermaksud menolak adanya lembaga survei, namun alangkah baiknya jikalau survei tidak perlu lagi memenuhi ruang publik. Biarkan ia menjadi konsumsi para pengguna jasanya saja. Saya tidak perlu bantuan survei untuk memilih kandidat untuk mengambil keputusan elektoral.
Publikasi hasil survei tak lebih hanya bagian dari kontrak dari sang pemesan yang menginginkan masyarakat tergiring opininya. Saya berharap di masa yang akan datang publikasi survei elektoral menyangkut pemilu ini bisa hilang dari peredaran. Muak rasanya terus dijejali informasi survei sebagaimana yang beredar bertahun-tahun belakangan ini.
Sikap Negarawan
Cukup menarik apa yang disampaikan oleh Anies Baswedan pasca rilis quick count hasil pilpres baru-baru ini. Meskipun menjadi pihak yang tidak diuntungkan oleh publikasi survei, beliau tetap menghargai informasi tersebut. Dan tidak melontarkan narasi berlebihan dalam menyikapinya.
Ajakan untuk menanti hasil perhitungan resmi KPU adalah sebuah sikap bijak ketimbang glorifikasi kemenangan paslon sebelah yang sudah mendeklarasikan kemenangannya hanya berdasarkan pengumuman quick count. Bereuforia sah-sah saja. Namun langkah itu samasekali tidak mengesankan sikap negarawan.
Bukankah sudah jelas bahwa aturan pesta demokrasi ini sepenuhnya menjadi mandat KPU mulai dari penyelenggaraan sampai pengumuman pemenang? Tapi mengapa hasil quick count lembaga survei yang seakan-akan mampu memberikan legitimasi hasil kontestasi?