"Pura-pura Mati Demi Hindari Penagih Utang", begitu kira-kira bunyi headline pemberitaan yang berseliweran di media masa beberapa waktu belakangan. Konyol? Memang. Tapi, perkara utang memang seringkali melahirkan aksi-aksi tak terduga.
Dan kalau ngomongin tentang utang kita mesti sadar kalau di era digital ini fasilitas utang-utangan itu memang semakin banyak aksesnya.
Pinjaman online (pinjol) menjamur di mana-mana. Bahkan setiap kali kita menikmati tontotan youtube selalu saja terselip iklan pinjol yang tanpa lelah mengiming-imingi calon "nasabah".
Desakan kebutuhan (atau keinginan) yang tidak seimbang dengan kapasitas finansial yang dimiliki melahirkan ruang kosong yang harus ditutupi dengan sumber eksternal berupa utang.
Sesekali dilakukan okelah. Tapi kalau berlangsung terus-menerus tanpa adanya upaya pemulihan maka hal itu akan memicu masalah.
Hasrat berutang seringkali tidak sepadan dengan komitmen untuk melunasi. Sehingga terjadilah upaya penghindaran seperti pura-pura gila, berlagak kerasukan setan, atau berakting menjadi mayat sebagaimana yang dilakukan seseorang dari Bogor itu.
Urusan utang ternyata tidak hanya menjadi domain pribadi seseorang saja. Korporasi juga melakukannya. Bahkan setara negara pun tidak lepas dari jerat serupa. Tidak peduli negara miskin ataupun kaya, persoalan utang seakan sudah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.
Harus diingat bahwa negara kita (Indonesia) sudah masuk ke dalam lingkaran perutangan itu. Nominal utang Indonesia cukup besar yang entah kapan bisa dituntaskan.
Kalau mungkin Anda belum tahu, per akhir Oktober 2022 lalu jumlah hutang Indonesia kira-kira sudah mencapai Rp 7.236,61 triliun. Naik cukup pesat dibandingkan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat tahun 2014 lalu yakni pada kisaran Rp 2.608,78 triliun.
Kalau dihitung-hitung, angka tujuh ribuan triliun tersebut cukup lho untuk dipakai membangun 155 Ibu Kota Negara (IKN) baru. Tapi anehnya, pemerintah kita terkesan tenang-tenang saja menghadapi tumpukan utang sebesar itu.