Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Parno Porno Bola Voli Pantai Wanita

Diperbarui: 4 Agustus 2021   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah cerita kembali hadir dari ajang Olimpiade Tokyo 2020. "Pelakunya" adalah cabang olah raga (cabor) voli pantai wanita. Ramai masalahnya adalah karena adanya pengaduan atau protes dari salah seorang pemirsa televisi yang ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menganggap bahwa acara tersebut bermuatan tidak baik atau dinilai mengandung unsur pornografi.

Tidak salah memang. Meski tidak juga bisa dibilang sepenuhnya benar. Menilik "kondisi" dari cabor tersebut memang "begitulah adanya". Yang namanya olah raga voli pantai memang dikemas sedemikian rupa sehingga gaya berpakaiannya pun layaknya para turis yang berjemur menikmati matahari pantai.

Terkesan seronok. Berbusana terbuka. Apalagi ketika hal itu dilakukan oleh kaum hawa. Bisa jadi syahwat lelaki yang menontonnya bergejolak melihat lekuk tubuh yang terbuka begitu adanya. Anggapan terkait tayangan olah raga voli pantai bermuatan tidak baik yang diadukan oleh Ibu Siti Musabikha bisa jadi cukup beralasan. Namun olah raga voli pantai ini bukanlah jenis olah raga baru yang muncul belakangan ini. Keberadaannya sudah cukup lama dan menjadi salah satu langganan cabor di ajang olimpiade.

Lantas mengapa baru sekarang diperkarakan? Apakah tingkat kekhawatiran kita terhadap tontonan dunia maya sudah sedemikian mengkhawatirkan sampai-sampai ajang olahraga turut menjadi sasaran wejangan? Begitu parno-kah kita terhadap program acara yang disinyalir memuat unsur-unsur pornografi?

Beberapa waktu lalu saya sempat melihat sebuah meme yang mengejek sensor tayangan yang dilakukan oleh salah satu stasiun televisi yang menampilkan tayangan relief candi. Sensor tersebut ternyata dialamatkan pada salah satu relief patung di dinding candi dimana ada gambar seseorang yang bertelanjang dada. Padahal itu hanya patung. Apakah sebegitu tingginya libido penonton sampai-sampai patung pun terkena sensor?

Tayangan model apapun dimasa kini sepertinya rentan mendapatkan sasaran kritikan. Bagi pecinta karya hal itu dianggap menguransi esensi pesan yang ingin disampaikan. Sementara bagi pihak yang menyensor hal itu ditujukan untuk mengurangi tontonan bermuatan negatif seperti kekerasan dan juga pornografi.

Disatu sisi ada niatan baik yang terpampang disana. Sementara disisi lain sebenarnya ada "kelucuan" yang miris dari kondisi kita saat ini. Sudah bukan merupakan sesuatu yang langka tatkala pemberitaan tentang kejahatan seksual menggema di sudut layar pemberitaan media masa. Barangkali hal itulah yang menjadi pemicu tingkat paranoid kita mengenai potensi racun pornografi. Sampai-sampai hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hal itu pun turut menjadi sasaran.

Aksi yang dilakukan Ibu Siti Musabikha mungkin membuat kening kita berkerut merasa aneh dengan tindakannya. Namun sebenarnya kita juga patut mawasdiri untuk melihat kerisauan yang dirasakan oleh beliau. Parno dengan hal-hal berbau porno sudah tidak lagi sebatas pada film-film berdandan seksi dan minim. Namun juga sudah merambah dunia olah raga yang sudah ada sejak lama.

Jika sudah seperti itu maka apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang? Pertama, matikan televisi dan jangan menonton tanyangan-tayangan yang dinilai berpotensi memicu syahwat. Kedua, berkaca diri apakah otak kita masih cukup kuat menahan godaan dari gambar-gambar "sensitif" atau justru gampang terangsang bahkan oleh patung telanjang saja.

Salam hangat,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline