Ada sebuah fenomena menarik yang terjadi di tempat kerja seorang teman. Hampir semua supervisor di bagian produksi ramai-ramai "menghindari" jatah jadwal kerja di shift 1 namun bersorak gembira tatkala giliran mereka mendapat kesempatan bertugas di shift 3. Shift 1 pekerjaan ibarat momok yang menjadikan mereka objek pesakitan dari sang atasan.
Sementara shift 3 justru sebaliknya. Ibarat "surga" yang memberikan keleluasaan dalam bertugas dan menikmati situasi kerja dengan tenang dan nyaman.
Mengapa fenomena semacam ini bisa terjadi? Menilik salah satu penuturan yang diutarakan teman diketahui bahwa "ketakutan" yang menghadirkan rasa tidak nyaman itu adalah perjumpaan dengan para atasan kerja. Dimana umumnya si bos dan segenap atasan yang lain bertugas non shift sehingga membuat mereka paling mungkin untuk bersua para pekerja dari shift 1 dan juga shift 2.
"Membidik sasaran haruslah tepat sehingga apa yang dituju benar-benar tertuntaskan sebagaimana harapan yang ada."
Selayaknya suatu pekerjaan tentunya tidak selalu berjalan mulus. Ada beberapa hal yang mungkin meleset dari perkiraan, melenceng dari harapan, atau tidak sesuai dengan target yang ditentukan. Sementara bagi para atasan pekerjaan yang dituntut mewujudkan kesempurnaan dalam tugas, setiap inci masalah sebisa mungkin dihindari.
Sebagai seorang yang menjadi garda terdekat dengan tim pelaksana lapangan tentunya para supervisor dihadapkan pada beban untuk senantiasa memegang kendali tugas. Mereka dituntut untuk mengawal aktivitas kerja sehingga terus berjalan smooth dan lancar. Mereka pula yang akan menjadi orang pertama untuk diinterogasi oleh atasannya jikalau terjadi peristiwa yang tidak sesuai harapan.
Mungkin terjadi kendala di proses produksi di shift 3 pekerjaan seperti kerusakan mesin atau sejenisnya. Hal itu umumnya tidak membuat para atasan menginterogasi langsung orang-orang yang bertugas di shift tersebut beberapa waktu setelah kejadian. Mereka akan menanyai para pekerja lapangan yang terdekat dengan waktu mereka bertugas.
Dengan kata lain mereka adalah pekerja di shift 1. Dan layaknya struktur organisasi maka tataran managemen level terbawah akan menjadi pihak pertama yang dikulik informasinya.
Diberi pertanyaan banyak hal atau mungkin disudutkan serta dipersalahkan atas masalah yang sebenarnya ia tidak bertanggung jawab secara langsung. Mereka hanya menjadi orang lain dalam satu tataran tugas dari pekerja lainnya yang menimbulkan masalah.
Rasanya tentu tidak mengenakkan tatkala kita diperlakukan seperti pihak yang bersalah sementara kita tidak turut andil langsung dalam hal tersebut. Tapi seorang atasan terkadang tidak mau tahu dengan hal itu.
Atau kalaupun luapan aparah mereka ditujukan kepada pekerja lain yang tidak sedang berada di tempat, tetap saja si pekerja yang bukan "tersangka utama" turut merasakan imbasnya.