Ada seorang penjual tempe yang sehari-hari mengais nafkah dengan cara menjajakan tempe ke rumah-rumah penduduk. Ia berkeliling setiap harinya dari satu tempat ke tempat yang lain mendatangi para pelanggan setianya.
Melalui profesinya tersebut, sang bapak penjual tempe itu berhasil mengais keuntungan kurang lebih Rp 50 ribu setiap harinya. Kala itu angka tersebut bisa dibilang relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, membayar biaya sekolah anak-anak, serta membeli beberapa keperluan lain keluarganya.
Suatu ketika, sang bapak penjual tempe yang terkenal sebagai pribadi jujur dan baik di daerahnya itu mendapatkan kesempatan untuk tampil sebagai kandidat anggota legislatif suatu partai politik. Mungkin karena adanya unsur kedekatan atau ada hal lain sehingga yang bersangkutan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat.
Singkat kata, akhirnya nasib baik pun berpihak kepada beliau. Si bapak penjual tempe terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) suatu wilayah. Fasilitas, gaji, dan tunjangan sebagai anggota dewan jelas berbeda jauh dibandingkan penghasilannya sebagai seorang penjual tempe keliling. Seharusnya hal itu membuatnya merasa lebih baik khususnya dari sisi finansial. Tapi nyatanya justru hal sebaliknya yang ia rasakan.
"Kenyamanan hati punya cara kerjanya sendiri, yang barangkali berbeda satu sama lain untuk setiap orang. Pada sebagian kasus mungkin gaji memiliki implikasi yang baik terhadap suasana hati. Meski tidak jarang hal itupun bisa sangat tidak berarti."
Si anggota dewan ini merasa justru kebutuhannya semakin meningkat seiring dengan besaran gaji yang didapat. Makin besar penghasilan, makin besar pengeluaran. Yang dulunya dari penghasilan menjual tempe semua kebutuhan tercukupi, kini hal itu justru tidak dirasakannya lagi. Akibatnya, hatinya pun gundah gulana.
Gelisah dengan profesi yang digelutinya saat ini. Hingga pada akhirnya si anggota dewan inipun memutuskan undur diri dari jabatannya. Ia memilih untuk kembali kepada profesi lamanya sebagai penjual tempe keliling. Baginya hal itu terasa lebih membuatnya nyaman dibandingkan berurusan dengan jabatan teras yang mapan.
Kenyamanan Kerja
Dalam beberapa kesempatan seorang teman berkeluh kesah perihal pekerjaannya. Ia kerapkali mendapatkan tekanan cukup besar dari sang atasan. Kata-kata "nge-gas" sudah menjadi santapan rutin sehari-hari dari seorang bos yang menuntut kesempurnaan dari pekerjaan anak buahnya.
Dinamika seperti itu terus saja terjadi setiap waktu. Apalagi saat mendekati akhir bulan dimana umumnya organisasi bisnis tengah gencar-gencarnya memburu omset bulanan. Seakan itulah momen terpanas yang harus membuat setiap orang kuat hati mendapatkan tekanan dari sana-sini. Salah-salah kalau tidak sabar bisa saja seseorang memutuskan untuk undur diri.
Sejenak saya melontarkan selentingan bukankah itu sepadan dengan gaji yang ia peroleh? Dengan diplomatis iapun menimpali, "Iya sudah, dinikmati sajalah.". Mungkin teman saya tadi termasuk dari orang-orang yang mampu bertahan dengan profesinya.