Baru-baru ini pemberitaan tengah ramai membahas perihal terjadinya kudeta yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar kepada pemerintah aktif di negara tersebut.
Tidak lama berselang dari pemberitaan itu partai besutan presiden ke-6 Republik Indonesia (RI) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Partai Demokrat, tiba-tiba dengan lantang meneriakkan bahwa pimpinan mereka yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan dikudeta oleh suatu kelompok yang didukung oleh tokoh dari lingkar istana.
Bahkan salah seorang kader partai berlogo mercy tersebut sudah mengutarakan sosok nama yaitu Kepala Staff Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai terduga pengobar api kudeta.
Tak ayal cuitan tentang kudeta pun menjadi trending topic di twitter menggeser "popularitas" Abu Janda yang beberapa waktu sebelumnya ramai diberitakan perihal kasus penghinaan.
"Kudeta di tempat kerja adalah tentang perasaan lebih tahu dari orang lain yang sepatutnya menjadi sosok yang kita patuhi. Pembangkangan seorang pekerja kepada atasannya tanpa dilandasi alasan yang tepat merupakan sesuatu yang bisa mengacaukan harmoni kerja serta menekan potensi bertumbuh menjadi lebih baik."
Kudeta memang menjadi salah satu momok yang menghantui serta mampu mencederai hasil dari sebuah legalitas hukum. Hal ini bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Paling sering kita mendengar istilah ini terkait pengelolaan sebuah negara dimana beberapa pihak tertentu ingin mendongkel kakuasaan lama yang sudah berkuasa melalui tindakan perlawanan yang mengacaukan kondusivitas.
Terkait kudeta sendiri sebenarnya tidak hanya terjadi dalam lingkup pemerintahan negara, melainkan juga bisa terjadi di lingkungan pekerjaan. Meski dalam rupa dan bentuk yang relatif berbeda dibandingkan jenis kudeta yang kita kenal di tatanan pemerintahan.
Dalam beberapa kesempatan tidak menutup kemungkinan tatkala seorang atasan diacuhkan atau tidak digubris instruksinya oleh anak buahnya. Perintah yang diberikan seperti dijalankan setengah hati, tidak beres, dan cenderung berbuat seenaknya sendiri.
Ada beberapa jenis anak buah yang berisiko melakukan aksi "kudeta" kepada atasannya entah karena mereka merasa lebih tahu, lebih senior, memiliki permasalahan pribadi, dan lain-lain dengan sang atasan yang semestinya mereka petuhi dalam batas peraturan yang diberlakukan oleh perusahaan.
Berikut ini mungkin beberapa ciri yang melekat di dalam diri pekerja dengan kecenderungannya untuk membangkang perintah dari sang atasan :
1. Merasa Lebih Paham Urusan Teknis Dibandingkan Atasannya
Sebagian pekerja terkadang begitu bangga dengan wawasan dan pengetahuan yang ia miliki terkait suatu pekerjaan. Biasanya mereka adalah orang-orang yang sudah bergelut dengan satu jenis pekerjaan dalam waktu cukup lama sehingga merasa akrab dan tahu luar dalam pekerjaan yang ia jalani. Namun perasaan seperti itu juga riskan membuat mereka "besar kepala" dengan pengetahuan yang dimiliki sehingga enggan menolak masukan dari orang lain termasuk atasan sendiri yang dinilainya tidak setiap hari membaur dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Ibarat gelas, mereka ini sudah merasa penuh terisi air sehingga informasi, masukan, atau arahan yang mereka terima akan lantas diabaikan begitu saja.
Sayangnya tidak sedikit dari perasaan puas atas pemahaman yang mereka miliki ini tidak didasarkan pada data yang valid, melainkan lebih kepada sangkaan atau intuisi semata. Sehingga meskipun terkadang mereka adakalanya benar, disisi lain mereka juga berpotensi berbuat sesuatu yang salah. Ketika ada ilmu pengetahuan baru yang dimaksudkan untuk upgrading proses kerja hal itu bisa saja disangka sebagai upaya penuh ketidaktahuan yang akan mengacaukan semuanya. Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Para pekerja dengan pemahaman seperti ini umumnya akan sulit untuk diperintah sang atasan terkecuali power dari sang atasan memang cukup kuat untuk "menaklukkan" otoritas yang klaim oleh anak buahnya tersebut. Jikalau tidak maka sang atasan harus bersiap mendapati kewenangan mereka dikudeta.
2. Menolak Menjalankan Instruksi Atasan dengan Argumentasi Tidak Sesuai Job Desc
Lingkungan kerja tidaklah selalu kaku dalam situasi dan kondisi tertentu. Suatu keterbatasan terkadang menuntut terjadinya fleksibilitas untuk mengimbangi. Ketika ada sebuah pekerjaan yang mungkin tidak tercover penyelesaiannya akibat keterbatasan manpower maka terkadang seorang atasan menginstruksikan anak buahnya agar supaya merampungkan pekerjaan tersebut. Meskipun biasanya job desc yang dimiliki oleh pekerja bersangkutan berbeda dengan tugas yang diembankan kepadanya. Sebagian pekerja mungkin tidak akan mempermasalahkan penugasan itu selama masih terkait dengan dukungan terhadap kelancaran pekerjaan secara keseluruhan. Akan tetapi ada sebagian pekerja yang keukeuh dengan job desc yang diembannya dan menolak untuk melakukan instruksi dari sang atasan. Argumentasinya karena hal itu tidak sesuai dengan job desc miliknya. Padahal disisi lain rekan kerjanya tidak mempermasalahkan penugasan dari atasan yang sebenarnya juga berbeda.
3. Memproklamirkan Senioritas dan Durasi Masa Kerja kepada Sang Atasan
Ada sebagian pekerja lama yang menganggap dirinya sebagai "sesepuh" di tempat kerja. Ia mengklaim dirinya sebagai orang lama yang tahu jatuh bangun perusahaan dari nol hingga masa jaya, menyaksikan pasang surut kejayaan perusahaan, dan lain sebagainya. Terkadang kebanggaan semacam ini bisa kebablasan terutama ketika terus diungkapkan kepada seorang atasan yang relatif baru berada di tempat itu. Seakan-akan mereka ini ingin mengatakan kepada atasannya agar jangan seenaknya memberi perintah karena mereka sosok senior. Dan bagi atasan yang merasa "tidak enakan" biasanya akan lebih memilih untuk menunjuk orang lain yang menurut mereka lebih mudah untuk diarahkan, tidak segan untuk menegur, serta lebih lepas dalam menjalankan tugas. Akibatnya potensi ketimpangan kerja menjadi lebih besar terjadi. Mereka yang lebih senior mendapatkan porsi lebih kecil dalam pekerjaan dibandingkan orang-orang baru karena sang atasan yang merasa tidak nyaman untuk menginstruksikan.
4. Punya Kebiasaan "Mengerjai" Orang Baru dengan Posisi Jabatan Lebih Tinggi
Terkadang ada saja pekerja lama yang merasa kurang suka atau punya kecenderungan "resek" kepada orang baru yang mendapatkan mandat sebagai atasan. Seorang teman pernah menceritakan pengalamannya saat masih baru bekerja dimana ia sedikit dikerjai oleh "calon" anak buahnya. Ada pekerjaan yang memang cukup awam baginya tapi oleh sang anak buah justru diarahkan sedemikian rupa sehingga teman saya tersebut "tersesat" dalam menyelesaikan pekerjaannya. Tak ayal hal itupun membuatnya panik dan khawatir kalau-kalau nantinya ia akan dipersalahkan juga oleh atasannya.
Dalam kesempatan yang lain rekan saya juga pernah dikerjai oleh anak buahnya yang kebetulan orang lama dimana rencananya untuk melakukan proses trial produksi justru dihalang-halangi dengan dalih harus ada surat rekomendasi langsung dari pemilik perusahaan. Rekan saya yang orang baru itupun mesti "adu otot" dengan anak buahnya tadi agar tugas yang dibebankan kepadanya bisa tertunaikan sesuai jadwal. Situasi serupa juga bisa saja terjadi dimana ada atasan yang dipermainkan oleh anak buahnya. Apabila si atasan tadi sudah minder duluan maka itu artinya kemenangan atas tindak kudeta dari para anak buahnya.
Kudeta di tempat kerja mungkin tidak sekeras kudeta politik yang sering kita dengar dari berita atau kita saksikan dalam film-film terkemuka. Namun kudeta di tempat kerja tetaplah menjadikan suasana yang tidak nyaman dalam keberlangsungan suatu organisasi bisnis. Perubahan tidak akan datang jikalau ada penentangan terus menerus yang justru bertujuan menyingkirkan benih-benih perubahan itu sendiri.
Dalam hal ini perlu adanya ketegasan untuk memilih dan memilah siapa-siapa saja yang perlu "dibereskan" sehingga tidak merasa berkuasa atas tugas dan pekerjaannya saat ini. Sebagian perusahaan memiliki kebijakan melakukan mutasi ke bagian lain sehingga orang-orang ini berada diluar zona nyamannya.