Tenaga Kesehatan (Nakes) yang seharusnya menjadi prioritas mendapatkan suntikan vaksin pertama ternyata masih banyak yang belum menjalani proses vaksinasi.
Alasan terbesar yang mengemuka adalah mereka ragu dengan kredibilitas vaksin Sinovac meski sudah mendapatkan status halal dari MUI dan juga izin edar dari BPOM.
Selain itu sebagian yang lain belum yakin dengan keampuhan vaksin Sinovac setelah melihat efikasi hasil uji klinis yang hanya sekitar 63,5 persen. Sementara WHO sendiri sudah menyampaikan standar minimal "hanya" efikasi 50 persen.
Dengan kata lain seharusnya tidak ada alasan menolak vaksin Sinovac menggunakan kedua dalih tersebut. Apalagi bukan hanya Presiden Jokowi orang berstatus pemimpin negara yang menerima vaksin itu.
Erdogan sang presiden Turki pun juga mendapatkan suntikan serupa. Tapi entah kenapa sepertinya masih begitu gencar penolakan yang disuarakan terutama karena embel-embel China dibalik keberadaan vaksin Sinovac itu.
"Mereka yang berkesampatan mendapatkan vaksinasi pada tahap awal hendaknya memberikan dukungan yang semestinya. Menyuarakan penolakan tidak akan memperbaiki keadaan sementara argumentasi atas penolakan itu hanya berdasarkan persangkaan semata."
Setidaknya pemerintah sudah berupaya untuk melakukan pengadaan vaksin dengan segera. Mereka bahkan sudah menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan farmasi penyedia vaksin jenis lain seperti Pfizer, Moderna, Astra Zeneca, hingga Gavi.
Hanya saja layaknya urusan birokrasi dan negosiasi umumnya selalu alot. Padahal pandemi COVID-19 harus sesegera mungkin ditangkal. Dan sejauh ini vaksin disinyalir sebagai cara terampuh untuk melakukannya.
Terkait dengan jumlah vaksin pada tahap awal masih cukup terbatas maka mau tidak mau haruslah ada skala prioritas.
Dan pemerintah pun sudah memutuskan pihak Nakes sebagai kalangan prioritas awal selain aparat keamanan. Tapi melihat realitas bahwa banyak Nakes yang menolak untuk divaksin hal ini mengesankan belum adanya kesatuan pemahaman dalam upaya memberantas pandemi.
Sebuah pertanyaan sederhana, masa sih pemerintah begitu kejamnya memilih sebagian warganya untuk "dikorbankan" dengan memberi mereka vaksin Sinovac? Sementara disisi lain pemerintah juga menjalin kesepakatan untuk mengadakan vaksin jenis lain?
Pilih-pilih vaksin sementara semua jenis vaksin yang digandeng pemerintah sama-sama mendapatkan sertifikasi WHO. Mengapa kalau menolak tidak sekalian saja semuanya.