Sebenarnya tidak ada yang salah dengan gaya kepemimpinan blusukan yang selama beberapa tahun terakhir ini seolah menjadi primadona baru perpolitikan tanah air. Gaya kepemimpinan yang dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang terbukti ampuh menarik simpati publik seiring terpilihnya beliau menjabat sebagai presiden untuk kali kedua.
Blusukan disebut-sebut memiliki akulturasi yang baik dengan masyarakat bawah yang merasa diperhatikan oleh pemimpinnya. Terlepas blusukan yang dilakukan apakah sebuah pencitran atau memang suatu ketulusan. Bahkan setiap kali menjelang pemilihan umum dilakukan para kandidat pejabat itu berbondong-bondong mendatangi pasar tradisonal, penduduk di kawasan pinggiran, dan sejenisnya. Cara-cara semacam itu pun sejatinya juga merupakan bagian dari blusukan.
"Blusukan mungkin sebentar lagi hanya akan menjadi cara kepemimpinan yang usang. Khususnya dalam kaitannya menarik simpati publik. Mobiliasi berita yang menceritakan tentang sosok figurlah yang bisa jadi lebih memiliki peranan untuk membuat seorang figur bernilai lebih dimata publik."
Selepas Presiden Jokowi menjabat sebagai presiden mungkin intensitas beliau melakukan sidak menjadi lebih terbatas mengingat area jangkauan beliau yang semakin luas. Bukan lagi sebatas satu kota atau provinsi, melainkan sudah mencakup satu negara. Meskipun orang lain mencoba meniru gaya beliau bekerja tapi sepertinya tidak ada yang benar-benar terlihat "nyambung" dengan masyarakatnya atau bisa dibilang terkesan canggung. Hingga kemudian publik melihat sosok Tri Rismaharini yang memiliki gaya kepemimpinan mirip dengan Jokowi. Gemar melakukan blusukan dan sering terlihat terjun langsung melihat implementasi pekerjaan lapangan. Dalam waktu yang terbilang cukup lama popularitas gaya blusukan memang terus membumbung tinggi. Tidak peduli adanya narasi-narasi kontra yang bertebaran dengan menyebut bahwa blusukan hanyalah upaya menaikkan citra serta mengejar popularitas.
Dan belakangan ini gaya kepemimpinan blusukan semakin mendapatkan sorotan karena terus-menerus dikaitkan dengan dramatisasi serta pencitraan. Bahkan salah seorang ekonom yang beberapa waktu terakhir kritis terhadap pemerintah menyebut bahwa gaya blusukan sebenarnya sudah usang karena kerapkali "membodohi" publik. Publik yang semakin cerdas akan jauh lebih bisa menilai dan membandingkan dari gaya memimpin dengan realitas di lapangan. Apakah blusukan yang dilakukan menciptakan efek perubahan atau tidak.
Jika gaya blusukan memang terbilang usang dan terus-menerus dipersoalkan, mungkin para politisi perlu mencari cara atau metode baru untuk memikat hati publik di tanah air. Terlebih ditengah-tengah masa pandemi dimana kontak fisik secara langsung sebisa mungkin dihindari. Digitalisasi merupakan tools yang paling memiliki potensi untuk itu. Membuat narasi konten digital yang lantas diviralkan akan lebih mudah menyasar seluruh kalangan yang menyaksikan konten tersebut daripada mendatangi satu per satu lokasi dengan cara blusukan.
Permasalahannya adalah untuk membuat sebuah konten viral pasti butuh "materi" untuk dikemas. Sementara materi yang berpotensi untuk itu adalah sesuatu yang "berbau" dramatisasi alias tidak jauh-jauh dari aksi "heroik" yang menunjukkan betapa seorang pemimpin terlihat begitu perhatian dan peduli pada masyarakatnya. Dalam hal ini sebuah aksi blusukan yang lantas dipublikasikan dengan bumbu narasi pemberitaan bombastis bisa seketika menyerap animo publik. Terlepas dari respon yang diberikan apakah positif atau negatif tapi setidaknya publik sudah ditarik atensinya untuk melihat sosok tersebut.
Gaya blusukan kemungkinan masih akan tetap menjadi primadona sebagaimana beberapa tahun terakhir ini. Hanya saja peran medialah yang paling vital untuk itu. Media tidak harus selalu media mainstream, namun para influencer atau netizen awam yang punya antusiasme melakukan sharing informasi juga berpotensi besar menjadi motor penggerak dalam mengerek popularitas seorang pemimpin. Kalau boleh dibilang sebenarnya blusukannya tetap sama, tapi intensitasnya yang tidak sebanyak sebelumnya. Sebagai gantinya narasi dari sebuah aksi blusukan bisa dikemas ulang sedemikian rupa sehingga terlihat menarik bagi para penjelajah dunia maya. Apalagi jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai angka kisaran 73% dari total penduduk yang ada. Angka ini memberikan peluang menjanjikan untuk membantuk sebuah opini publik hanya melalui satu berita yang sebenarnya biasa-biasa saja tapi dikemas secara luar biasa.
Pasca gaya blusukan yang terus dipersoalkan sepertinya kita harus menyadari fakta bahwa media sosial memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap penilaian publik bahkan melebihi realitasnya sendiri. Bisa jadi blusukannya hanya tanya kabar dan kesehatan, tapi narasi pemberitaannya bisa berkembang jauh lebih panjang dari itu. Sebenarnya yang paling berpeluang mendapatkan pencitraan diri bukanlah ia yang paling banyak blusukan, tapi ia yang paling banyak dibicarakan dan menjadi topik berita dengan isi narasi yang kebanyakan positif. Dengan kata lain gaya blusukan bukan jaminan untuk mengerek popularitas, tapi bisa juga sebaliknya. Tergantung bagaimana sang sutradara dibalik layar memasarkan figur ke publik dengan segala atribut yang dimilikinya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H