Selama beberapa waktu terakhir khususnya selepas memasuki periode pergantian tahun terjadi sesuatu yang cukup luar biasa. Makanan yang selama ini akrab dengan rakyat kecil yaitu tahu dan tempe seketika sering menghilang dari pasaran.
Usut punya usut ternyata hal itu disebabkan oleh mahalnya harga kedelai yang tak lain merupakan bahan baku utama dari kedua jenis makanan tersebut.
Pasokan yang langka mau tidak mau menjadikan hukum ekonomi berlaku. Harga semakin mahal mengingat yang berburu bahan tersebut banyak sementara stok untuk memenuhi jumlahnya terbatas. Dan yang paling merasakan efek negatif dari kondisi ini tentu saja para pengusaha tahu tempe serta orang-orang yang setiap harinya hanya mengandalkan tahu tempe sebagai lauk makan sehari-hari.
Jikalau untuk membeli lauk tahu tempe saja sudah berat, lalu bagaimana bisa membeli jenis lauk lain yang umumnya memang lebih mahal? Mungkin opsinya hanya menyantap ikan asin saja. Sungguh sebuah ironi.
"Kacang kedelai mungkin sepintas terlihat sebagai komoditas yang sederhana. Namun kelangkaan yang terjadi beberapa waktu terakhir ini menunjukkan bahwa betapa kita masih bergantung pada impor dari negara lain. Program lumbung pangan yang digadang-gadang bisa meningkatkan kualitas ketahanan pangan kita ternyata belum menampakkan kontribusinya. Entah karena belum berjalan atau karena memang terabaikan begitu saja."
Di negara agraris seperti Indonesia sebenarnya sangat aneh tatkala kelangkaan semacam ini terjadi.
Masyarakatnya banyak yang bertani, meskipun memang selama beberapa waktu terakhir terus menurun jumlahnya. Tapi seharusnya hal itu tidak menghalangi kenyataan bahwa tanah kita subur dan mampu untuk menelurkan kedelai-kedelai kualitas terbaik.
Adakah yang salah dengan hal ini? Ditengarai bahwa para petani di Indonesia banyak yang "ngambek" untuk mengembangkan pertaniannya seiring derasnya keran impor produk-produk pertanian yang salah satunya adalah kedelai.
Mereka merasa imbal balik yang didapat kurang sebanding dengan jerih payah yang mereka keluarkan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 lalu saja memaparkan produksi kacang kedelai dalam negeri hanya mencapai 982.598 ton. Sedangkan menurut data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) selaku salah satu negara pengimpor kacang kedelai ke Indonesia, produksi kedelai dalam negeri Indonesia hanya mencapai 520.000 ton dalam rentang periode Oktober 2018 - Oktober 2019.
Padahal jumlah konsumsi kita mencapai 3,07 juta ton. Dengan kondisi semacam itu maka jelas impor akan menjadi opsi bagi pemerintah Indonesia.
Lantas mengapa para petani kita tidak diarahkan untuk menanam kedelai mengingat besarnya permintaan pasar yang begitu besar? Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa bertani kacang kedelai dinilai tidak terlalu menguntungkan para petani.