"Kita hanya harus memberikan kinerja terbaik dalam setiap situasi dan kondisi pekerjaan hingga hal itu membuat kita layak disebut sebagai sebuah permata. Dengan begitu kita akan tetap bersinar dan mendapatkan apresiasi terbaik dari mereka yang memahami nilai tinggi dari permata tersebut."
Di sebuah organisasi bisnis atau perusahaan umumnya terdapat suatu jabatan tertentu yang posisinya berada di tengah-tengah antara penerjemah keinginan pihak manajemen dengan para pekerja pelaksana lapangan atau yang biasa disebut buruh.
Dalam salah satu istilah jabatan tersebut sering dikenal dengan "Manajemen Level". Yang artinya mereka menjadi kepanjangan tangan langsung dari pihak manajemen dan atau orang-orang kepercayaan perusahaan untuk merumuskan dan menginstruksikan sebuah strategi di lapangan.
Mereka ini umumnya bukanlah tim eksekutor langsung, melainkan para pemberi perintah, pemberi instruksi, dan pemberi arahan kepada tim pelaksana. Meskipun sama-sama berstatus karyawan, namun para manajemen level tersebut memiliki "keharusan" untuk lebih berpihak kepada pengusaha dibandingkan buruh.
Memang hal ini bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi di tempat kerja mana pun, akan tetapi para pekerja level menengah itu merupakan "penyambung lidah" organisasi dalam mengelola sumber daya manusia (SDM) yang bertugas di ranah operasional.
Dalam banyak hal para pekerja level menengah ini dituntut untuk mampu menjembatani setiap instruksi atasan atau dengan kata lain menunaikan strategi yang dibuat oleh pihak manajemen kepada tim operasional di bawahnya sekaligus harus bisa mengakomodasi "suara" dan kepentingan tim operasionalnya tersebut.
Kemampuan melakukan persuasi, memberikan arahan atau instruksi, teguran, dan lain sebagainya penting untuk dimiliki agar para manajemen level ini tidak dipersalahkan oleh dua entitas yang berada dibawahnya maupun yang ada diatasnya.
Apabila menyangkut aspek teknis pekerjaan, relasi di antara para karyawan apapun levelnya mungkin lebih mudah dikoordinasikan dan dikondisikan. Akan tetapi ketika sudah memasuki ranah yang lebih "rawan" dan "kritis" seperti misalnya terkait pengesahan Omnibus Law sikap para manajemen level ini bisa menjadi buah simalakama bagi dirinya sendiri.
Kecenderungan fungsi tugasnya yang merupakan representasi pemilik bisnis tentu membuatnya berada pada posisi yang bersepakat dengan pengesahan Omnibus Law. Bagaimanapun juga undang-undang tersebut bisa dibilang bersahabat dengan pengusaha dan sebagai golongan manajemen level seharusnya mendukung hal itu.
Di sisi lain, biarpun berstatus manajemen level mereka ini tetaplah juga karyawan pada umumnya yang dibayar gajinya berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Demikian juga peraturan kerja yang lain seperti cuti, pesangon, dan sejenisnya juga turut terikat dengan peraturan yang ada.
Ketika peraturan yang dibuat dinilai merugikan para pekerja, maka termasuk juga manajemen level akan menjadi bagian dari mereka yang dirugikan tersebut. Lantas apakah dengan kondisi semacam itu para pekerja level menengah tetap harus berpihak pada pengusaha atau kepada buruh yang memperjuangkan dirinya?