Baru-baru ini tengah viral peristiwa orientasi mahasiswa baru secara virtual namun masih dengan mempraktikkan cara "kolonial" atau metode lama yang mengedepankan pressure mental kepada para mahasiswa baru melalui bentakan para senior. Terlepas latar belakang yang mendasari munculnya tindakan membentak dari para senior kepada para juniornya itu sebenarnya ada satu dalih "pembenaran" terkait mengapa bentakan itu perlu dilakukan.
Belajar dari masa-masa ketika saya masih menjadi mahasiswa baru bertahun-tahun yang lalu, salah seorang senior kami memberikan penjelasan bahwa ada "niat baik" dibalik bengisnya sikap para senior kepada adik-adik barunya itu. Menurutnya sikap keras yang disertai dengan bentakan itu adalah bagian dari upaya pembiasaan diri seseorang tatkala nanti memasuki dunia kerja. Pressure semacam itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang lumrah atau bahkan belum sepadan dirasakan oleh para mahasiswa baru dibandingkan saat mereka kelak terjun ke masyarakat.
Bertahun-tahun berlalu setelah masa-masa sebagai mahasiswa berakhir dan kini menjalani kehidupan di dunia kerja, saya pribadi merasakan bahwa pressure seperti amarah atasan itu cukup sering terjadi. Beberapa kali saya menjumpai rekan kerja (termasuk saya sendiri) mendapatkan amukan dari para atasan terkait beberapa hal tertentu dalam pekerjaan.
Kalau boleh membandingkan rasa-rasanya amukan para senior kuliah masih tidak ada apa-apanya sama sekali. Biarpun bentuk "kekerasan" verbal semacam itu sangat tidak menyenangkan untuk dijalani akan tetapi realitas di luar sana menunjukkan bahwa situasi semacam itu masih banyak terjadi.
Apakah metode orientasi mahasiswa baru dengan gaya "keras" ini sebenarnya memiliki sisi manfaat yang juga dibutuhkan dalam mengarungi dunia kerja pasca mereka lulus dari pendidikan kampus? Atau sebenarnya ada ketidakselarasan pola antara kehidupan pasca pendidikan akademik khususnya di dunia kerja dengan sistem pendidikan itu sendiri?
Menilik sebagian besar peserta didik saat ini adalah mereka dari kalangan generasi Z maka metode yang diusung dalam orientasi mahasiswa baru dengan gaya keras seperti yang belakangan viral tersebut sepertinya kurang tepat atau tidak relevan untuk dilakukan. Generasi Z bukanlah orang-orang yang suka diperlakukan dengan cara yang sama seperti generasi sebelumnya (X dan Y) diperlakukan.
Terkait korelasinya dengan dunia kerja yang saat ini untuk posisi jabatan strategis masih dipegang oleh kalangan generasi X dan generasi Y maka bisa jadi cara kerja lama seperti pressure kerja keras, amarah, dan sejenisnya juga masih akan tetap bertahan dalam iklim pekerjaan. Generasi Z yang masuk menuju lingkungan semacam itu bukan tidak mungkin akan merasakan situasi keras yang sebenarnya tidak cocok untuk mereka. Indikasinya bisa dilihat dengan tingginya angka resign kerja dari para angkatan kerja baru yang memasuki dunia kerja tersebut.
Jika melihat kecenderungan lain dari para generasi Z yang sebagian diantaranya masih menempuh pendidikan itu, mereka umumnya memiliki harapan untuk menjadi pemilik perusahaan start up. Dengan kata lain mereka ingin menjadi bos untuk dirinya sendiri. Ingin bebas menjalani kehidupan dengan caranya sendiri yang berbeda dengan generasi terdahulu.
Dengan kecenderungan seperti itu maka ospek gaya "kolonial" sepertinya menjadi kurang pas untuk diberikan. Jika melihat kondisi ini maka sebenarnya tidak ada metode "pukul" rata dari ospek untuk peserta didik baru khususnya para mahasiswa baru terkait bagaimana hal itu mesti dilakukan. Karena disatu sisi ada poin manfaat kala seseorang memasuki dunia kerja namun disisi lain hal itu juga bisa berarti tidak memiliki manfaat samasekali.
Tapi saya pribadi menganggap bahwa tidak perlu ada cara-cara kekerasan baik fisik ataupun verbal untuk dimasukkan dalam agenda ospek mahasiswa baru. Apabila memang ada sesuatu yang dibutuhkan dalam dunia kerja khususnya terkait pressure maka hendaknya dipilih metode lain yang menjadi satu kesatuan dalam kurikulum pembelajaran itu sendiri.
Pendidikan sebisa mungkin dijauhkan dari unsur-unsur kekerasan semacam itu karena apabila celah itu diberikan maka potensi kebablasan bisa saja terjadi. Kita tentu tidak ingin lagi melihat mahasiswa baru yang meninggal dunia akibat kekerasan yang dilakukan para seniornya. Bahkan meskipun kegiatan semacam itu dilakukan secara virtual sekalipun, kita tentu tidak ingin ada seorang peserta didik yang depresi karena kekerasan verbal yang ia terima. Zaman sudah beruubah dan semestinya pendidikan juga dilakukan selaras dengan perkembangan zaman itu.