Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Kebijakan Pamungkas Akhiri Pandemi

Diperbarui: 3 Juli 2020   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Situasi penangan korban COVID-19 | Sumber gambar : www.sehatq.com

Apakah pandemi COVID-19 sudah berakhir? Jawabannya adalah belum. Paling tidak itulah yang dialami oleh Indonesia. Bahkan setiap harinya jumlah kasus terus saja bertambah. Memecahkan "rekor" baru penambahan kasus terinfeksi harian. Namun seakan hal itu kini sudah sangat biasa saja bagi sebagian orang. Bertambah 1000 korban per hari biasa saja. Bertambah 1500 orang per hari juga biasa saja. Mungkin bertambah 5000 orang korban per hari sekalipun juga akan sangat biasa-biasa saja. Tanpa harus membandingkan dengan beberapa negara lain yang memang kebanyakan juga mengalami situasi serupa, Indonesia seakan sudah kehilangan energi untuk melawan pandemi COVID-19.

Kita lebih memilih untuk "berdamai" dan "hidup berdampingan" dengannya. Sebuah sebutan lain untuk kata "menyerah" mungkin lebih tepatnya. Jargonnya memang seperti tidak menunjukkan hal itu, new normal. Tapi sebenarnya kita sudah mengabaikan banyak hal berharga dalam hidup ini. Menganggap ketidaknormalan sebagai sebuah kenormalan.

Lebih lanjut lagi hal itu dikampanyekan melalui sebuah lomba video berhadiah 168 miliar rupiah. Sebagai perbandingan, anggaran untuk riset terkait virus corona ini "hanya" sekitar 49 miliar rupiah. Selisih 119 miliar rupiah. Melihat angka ini saja kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa negara ini kehilangan esensi dari penuntasan sebuah pandemi. Justru yang terkesan adalah kita mengizinkan pandemi tersebut untuk terus hidup dan bertahan lebih lama lagi di bumi pertiwi yang kita cintai ini.

Kita meyakini bahwa sektor ekonomi dan juga kesehatan masyarakat merupakan dua aspek yang perlu dijaga bersama-sama. New normal adalah sebuah solusi jangka pendek agar roda ekonomi terus berputar tanpa harus menciptakan angka penularan yang membabi buta. Hanya saja kita tidak bisa terus menjalani hidup terus-menerus seperti ini.

Berharap agar masyarkat mengikuti setiap protokol kesehatan seperti jaga jarak, mengenakan masker, ataupun rutin mencucui tangan sembari menantikan angka terinfeksi terus menurun setiap harinya, jumlah pasien sembuh terus bertambah setiap harinya, hingga akhirnya pandemi berhenti dengan sendirinya. Situasinya tidaklah sesederhana itu.

Apa yang kita lakukan saat ini dengan cara pendekatan yang relatif samaselama beberapa waktu terakhir bisa dibilang sebagai suatu kegilaan. Bagaimana tidak, mengharapkan hasil yang berbeda sedangkan upaya yang dilakukan masih sama dengan sebelum-sebelumnya apakah itu bukanlah suatu kegilaan? Kalau mau dibilang bahwa sebenarnya ada hasil yang berbeda, maka hal itu hanyalah angka terinfeksi yang terus bertambah (berubah) setiap harinya.

Nihil Kebijakan Substansial

Sejak pertama kali pandemi ini melanda Indonesia, memang pemerintah sudah mengeluarkan cukup banyak kebijakan. Sebagian diantaranya adalah untuk menyelamatkan sektor perekonomian seperti stimulus usaha, keringanan pajak, potongan tagihan listrik, dan lain sebagainya. Sedangkan kebijakan yang terkait dengan penuntasan secara langsung pandemi itu sendiri masih sangat minim.

Mungkin yang "baru" terlihat adalah pembentukan konsorsium COVID-19 di bulan Maret 2020 lalu. Itupun progresnya masih belum menunjukkan sesuatu yang berarti. Berbeda dengan beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) sudah memasuki tahap uji klinis ke manusia, bahkan China sebentar lagi sudah siap me-launching vaksin antivirus corona COVID-19 hasil karya para ilmuwannya. Indonesia sendiri masih dalam tahap memulai uji pada mamalia, belum sampai ke manusia. Perkiraan tercepat vaksin baru siap diproduksi oleh industri pada Februari 2021 mendatang. Masih lama.

Belum usai pandemi COVID-19, dan belum adanya vaksin untuk mengatasinya, baru-baru ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memperingatkan dunia internasional kembali akan adanya bahaya pandemi lain terkait virus flu babi baru yang dinamai virus G4. Hal ini tentu butuh penyikapan yang lebih intens lagi. Jangan lagi mengulang kesalahan yang sama dengan meremehkan keberadaan virus tersebut seperti masa-masa awal pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia.

Sangat buruk sekali penyikapan yang dilakukan oleh pemerintah waktu itu. Belum lagi jika membicarakan perihal potensi gelombang kedua COVID-19. Terkait gelombang kedua pandemi ini saya justru merasa aneh, apakah gelombang pertama pandemi COVID-19 di Indonesia sudah kita lalui? Mengingat beberapa pemberitaan menyebutkan bahwa Indonesia sebenarnya belum memasuki masa puncak pandemi. Dengan kata lain gelombang pertama COVID-19 di Indonesia sebenarnya belum usai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline