Pihak Pertamina menyuarakan rencananya terkait penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) beroktan rendah. BBM yang dimaksud adalah yang memiliki nilai Research Octane Number (RON) 91 ke bawah. Dengan demikian, BBM berjenis Premium (RON 88) dan Pertalite (RON 91) berpotensi besar untuk dihapus dari peredaran alias tidak dijual lagi di pasaran.
Pertimbangan utama yang mendasari rencana besar ini adalah komitmen untuk memenuhi kesepakatan terkait upaya mengurangi gas karbon sebagimanaa tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2017.
Dengan demikian produk kategori bensin yang dimiliki pertamina akan berkurang menjadi tersisa Pertamax dan Pertamax Turbo saja. Sedangkan untuk solar juga akan tersisa Perta-Dex dan Perta-Dex High Quality selepas Solar 48 dan Solar Dexline juga rencananya akan dihapus dengan alasan serupa.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sebelumnya sudah terlebih dahulu meminta supaya Pertamina menghapus BBM bersubsidi tersebut. Pertimbangannya adalah varian produk BBM yang terlalu banyak sehingga membebani biaya distribusi.
Hanya saja alasan-alasan yang diutarakan oleh pemerintah dan juga pihak Pertamina tersebut bukannya tidak memiliki konsekuensi samasekali. Selalu ada sudut pandang lain yang menganggap hal ini bukanlah kebijakan yang tepat untuk diambil.
Untuk itu mungkin kita perlu mengurai pemahaman kita terlebih dahulu mengenai hal-hal yang terkait dengan rencana penghapusan produk bensin oktan rendah ini.
Kita perlu coba menelaah terlebih dahulu apa-apa saja yang sekiranya menjadi nilai tambah sekaligus memberikan peluang-peluang (opportunities) hal baik dimasa yang akan datang.
Selain itu kita juga harus mempertimbangkan risiko-risiko (risks) yang muncul sebagai akibat dari kebijakan tersebut. Sehingga nantinya akan diperoleh suatu tradeoff guna menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.
Untuk mengawali uraian ini mari kita mulai dengan melihat sisi peluang terlebih dahulu. Bahwa ada potensi baik yang bisa kita peroleh melalui implementasi rencana penghapusan bensin oktan rendah ini.
Alasan yang dikemukakan oleh Pertamina dan Erick Thohir hanyalah sebagian di antaranya. Masih ada peluang-peluang lain yang bisa dibilang memberikan nilai tambah tersendiri bagi kehidupan kita pribadi dan juga masyarakat secara luas. Berikut di antaranya:
>> Memperbaiki Baku Mutu Udara
Menghapus bensin Premium yang memiliki RON 88 dan Pertalite dengan RON 91 sama artinya dengan mengurangi peluang penambahan polutan seperti hidrokarbon, karbon monoksida, timbal, dan lain sebagainya.
Penggunaan Premium atau Pertalite yang beroktan rendah meningkatkan risiko pembakaran tidak sempurna pada kendaraan bermotor. Membuat emisi gas buang kendaraan yang dikeluarkan menjadi berbahaya bagi lingkungan.
Sebagaimana kita tahu, banyaknya polutan yang bertebaran di udara dan lingkungan sekitar akan sangat mengganggu kesehatan kita serta riskan menimbulkan penyakit mematikan.
Berdasarkan data, kendaraan bermotor berperan sekitar 70% terhadap pencemaran yang terjadi. Dengan demikian, semakin tidak berkualitas emisi gas buang kendaraan akibat penggunaan BBM oktan rendah maka akan semakin parah dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Demikian juga sebaliknya. Polusi bisa ditekan sehingga kualitas udara pun meningkat. Kondisi ini biasanya bisa kita pantau dari kadar baku mutu udara yang terpampang di beberapa titik kota-kota besar dengan status informasi kualitas udara Baik, Sedang, Tidak Sehat, Sangat Tidak Sehat, hingga Berbahaya. Seiring dengan penggunaan BBM yang lebih berkualitas maka baku mutu udara kemungkinan akan terjaga di level yang lebih baik.
>> Udara Sehat Mendukung Aktivitas Olahraga di Ruang Publik
Kualitas udara memiliki korelasi penting dengan pelaksanaan kegiatan di ruang publik. Kita sudah sangat familiar dengan Car Free Day (CFD) yang membuat kita nyaman berjalan kaki atau bersepeda di tengah-tengah kota besar. Menghirup udara yang jauh dari kepungan asap kendaraan bisa dibilang sebagai sesuatu yang langka bagi warga perkotaan.
Apabila momen seperti itu tiba misalnya saat pelaksaan CFD, musim mudik dan libur lebaran, atau ketika masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kondisi udara terasa begitu menggoda untuk kita menikmatinya dengan sederhana. Menghirup udara yang lebih sehat dengan sepuas-puasanya.
Berbeda dengan warga pedesaan yang memang sudah terbiasa dengan udara bersih, masyarakat perkotaan cukup jarang menemukan momen semacam itu. Keberadaan pabrik-pabrik dan juga penumpukan kendaraan bermotor mau tidak mau menjadikan udara di kota semakin tidak sehat.
Apalagi mengingat jumlah kendaraan bermotor dari waktu ke waktu terus meningkat. Bukannya kualitas udara semakin membaik malah justru sebaliknya. Melarang orang untuk membeli kendaraan masih belum menjadi solusi yang paten.
Mengarahkan warga untuk memanfaatkan transportasi umum juga belum mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang beredar. Sehingga upaya lain mesti ditempuh. Biarlah setiap orang memenuhi keinginan memiliki kendaraan bermotor pribadinya masing-masing. Memiliki sepeda motor sendiri, mobil sendiri, dan lain sebagainya.
Hanya saja sumber penghasil polutan dalam kendaraan bermotor itu harus lebih diperhatikan. Salah satu upayanya yaitu dengan memilih menggunakan sumber energi yang rendah emisi. Kendaraan listrik mungkin bisa menjadi opsi.
Demikian juga menggunakan BBM beroktan tinggi juga bisa mereduksi risiko serupa. Apabila ini bisa dilakukan maka dampak emisi bisa ditekan. Masyarakat bisa lebih leluasa beraktivitas di ruang publik seperti joging, bersepeda, senam, dan lain sebagainya dengan lebih nyaman.
>> Efisiensi Pengolahan dan Pendistribusian Produk Pertamina
Seperti yang diuraikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir, varian produk milik Pertamina harus direduksi supaya bisa menekan biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan juga biaya-biaya lainnya.
Selama ini yang seringkali terjadi adalah Pertamina dihadapkan pada situasi dilema ketika mereka harus menaik-turunkan harga BBM dipasaran. Pada suatu kondisi mereka harus berhadapan dengan harga minyak dunia yang naik, tapi di sisi lain menaikkan harga jual tidak secara sembarangan dilakukan.
Pertamina bisa berisiko menelan kerugian besar atas dinamika harga minyak ini. Belum lagi masalah efisiensi produksi. Semakin banyak varian produk pada umumnya memang mengganggu upaya efisiensi yang dilakukan.
Fokus yang terbai-bagi membuat upaya tersebut tidak optimal dilakukan. Oleh karena itu kita bisa melihat korporasi besar semacam Apple hanya memiliki beberapa varian jenis produk saja agar mereka bisa melakukan upaya maintain dengan lebih terjaga. Selain itu, riset-riset juga bisa lebih mudah dilakukan karena tidak mengurusi banyak varian produk.
Demikian halnya dengan jaringan distribusi. Varian yang berbeda-beda pastinya sangat mempengaruhi pengaturan distribusi ke masing-masing area. Berbanding terbaik dengan varian yang lebih sedikit yang akan sangat mempermudah urusan distribusi.
Biaya distribusi bisa ditekan, biaya penyimpanan bisa dikurangi, dan biaya operasional produksi pun seharusnya mampu ditekan seiring fokus pengerjaan produk yang lebih sempit. Continuous improvement lebih maksimal untuk dikerjakan.
Apabila beban biaya yang ditanggung oleh Pertamina semakin kecil maka keuntungannya cukup banyak. Pertama, pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan subsidi BBM sehingga bisa dialihkan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat seperti subsidi langsung bagi masyarakat miskin, bantuan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), hingga pembangunan sarana prasarana publik.
Kedua, harga jual bensin kualitas unggul seperti Pertamax bisa lebih murah daripada yang ada sekarang seiring efisiensi yang berhasil dilakukan Pertamina. Masyarakat bisa mendapatkan bensin bermutu tinggi dengan harga yang jauh lebih murah.
>> Hapus Cerita BBM Langka
Pernahkan menemui situasi ketika kita membeli bensin di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tapi ternyata kehabisan? Yang belakangan sering kita jumpai mungkin untuk kasus BBM Premium atau Pertalite yang kebetulan stoknya habis. Hal ini bisa jadi bukan suatu kebetulan.
Pihak Pertamina mungkin menemui kendala ketika mereka harus melakukan produksi dengan varian produk yang berbeda. Bisa pada masalah lini produksi, bisa pada masalah distribusi, dan lain sebagainya. Situasinya akan sangat berbeda jikalau Pertamina mengelola lebih sedikit varian produk.
Seharusnya mereka akan lebih leluasa untuk mengerjakan proses produksi dan pekerjaan-pekerjaan setelahnya. Efisiensi meningkat produktivitas bertambah, output produksi membesar, dan distribusi lebih cepat. Dengan demikian cerita akan terjadinya kelangkaan BBM sepertinya tidak akan terjadi lagi.
>> Menuju Gaya Hidup Berkualitas Tinggi
Salah satu ciri negara besar adalah gaya hidup yang semakin berkualitas. Jauh lebih menghargai kesehatan. Bukan semata-mata harga murah yang mereka kejar, akan tetapi harus memenuhi syarat berkualitas mumpuni.
Mereka tidak akan membeli sesuatu yang menimbulkan efek buruk bagi lingkungan, yang ujung-ujungnya merusak kesehatan. Kesadaran mereka tinggi. Hal ini terlihat jelas di negara-negara besar, maju, dan sejahtera penduduknya.
Mengarahkan masyarakat untuk menggunakan BBM beroktan tinggi bisa dibilang sebagai upaya untuk menggiring masyarakat menuju gaya hidup demikian. Menuju gaya hidup yang menghargai kualitas. Bukan semata kuantitas. Tidak hanya sekadar harga murah, tapi harus memberikan efek jangka panjang yang baik bagi dirinya sendiri dan juga lingkungannya.
Namun hal ini mesti diimbangi dengan tingkat kesejahteraan penduduk sehingga mereka tidak lagi berfikir, "Jangankan beli Pertamax, untuk membeli makan lauk tahu tempe saja susah." Oleh karena itu gagasan menghapus Premium maupun Pertalite harus juga memperhatikan sisi risiko yang mungkin saja timbul apabila strategi yang diberlakukan dalam upaya ini tidak menemui sasarannya.
Terdapat beberapa risiko yang berpotensi mengganggu tatanan situasi sosial masyarakat kita apabila kebijakan penghapusan Premium dan Pertalite ini berjalan tanpa persiapan yang matang. Ada cukup banyak hal-hal sensitif yang perlu diperhatikan supaya tidak menimbulkan efek domino yang juntrungannya justru semakin memperburuk situasi. Dan berikut adalah beberapa hal tersebut :
>> Biaya Konsumsi BBM Masyarakat Meningkat
Dewasa ini BBM sudah menjadi salah satu bagian penting konsumsi masyarakat. Salah satunya terkait adanya sepeda motor sebagai sarana transportasi yang dinilai penting untuk menunjang mobilitas dan aktivitas warga.
Para petani disawah banyak yang sudah menggunakan sepeda motor, selain menggunakan BBM juga untuk kebutuhan pengairan persawahan. Para pedagang di pasar tradisional juga sebagian besar memanfaatkan kendaraan bermotor sebagai penunjangnya.
Demikian juga nelayan di laut. Pekerja pabrikan. Ketika salah satu penunjang aktivitas itu terkena dampak dari kenaikan harga BBM, maka sudah barang tentu akan ada efek negatif kedepannya apabila tidak diimbangi dengan antisipasi yang memadai.
>> Kenaikan Harga Sembako dan Bahan Pokok Lain
Satu hal yang hampir pasti terjadi sebagai akibat kenaikan harga BBM adalah harga-harga bahan pokok ataupun sembako mengalami kenaikan. Yang paling mudah dilihat adalah harga seporsi makanan di warteg bisa seketika naik tatkala harga BBM dinaikkan.
Meskipun rencana kebijakan yang akan dikeluarkan ini adalah terkait penghapusan bahan bakar Premium dan Pertalite, hal itu secara tidak langsung juga merupakan kebijakan menaikkan harga BBM mengingat publik diarahkan untuk membeli Pertamax dengan harga yang pastinya lebih mahal ketimbang dua jenis BBM oktan rendah tersebut. Sehingga efeknya pun kurang lebih sama dengan kebijakan menaikkan harga jual BBM pada umumnya.
>> Inflasi Membumbung
Satu lagi "paket" dari efek kebijakan kenaikan harga BBM adalah inflasi. Hal ini merupakan salah satu efek domino yang terjadi dari akibat biaya lebih mahal yang mesti dikeluarkan masyarakat untuk membeli BBM.
Semua harga bahan kebutuhan naik adalah salah satu syarat inflasi. Itu sudah seperti hukum alam yang tidak terpisahkan satu sama lain. Sedangkan efek inflasi sendiri bisa berisiko memperbesar angka kemiskinan sebuah negara.
>> Momen Pandemi dan Potensi Kekacauan di Tengah Masyarakat
Kondisi akibat pandemi COVID-19 merupakan salah satu saat terburuk bagi sebuah bangsa. Dampak sosialnya cukup banyak. Kondisi kesehatan yang terancam serta ekonomi yang serba tidak menentu membuat setiap orang lebih kritis terhadap segala pengeluaran kebutuhannya.
Setiap orang akan berpikir dua kali untuk membayar sesuatu yang mereka butuhkan. Bahkan kalau perlu melakukan protes besar-besaran jikalau hal itu membuat kondisi mereka semakin terbebani.
Kita sudah cukup sering menyaksikan kisruh di tengah masyarakat selama kondisi krisis. Menciptakan harga BBM yang lebih mahal ditengah situasi yang tidak kondusif seperti masa pendemi sekarang ini sepertinya bukan merupakan momen yang tepat. Hal itu hanya akan membuat masyarakat semakin terbebani.
Apalgi sebelumnya pemerintah sudah terlebih dahulu mengeluarkan kebijakan tetap menaikkan iuran BPJS Ketenagakerjaan. Dan reaksinya pun heboh. Ditambah lagi tagihan listrik yang membengkak dialami beberapa kalangan. Apakah dengan "memaksa" masyarakat beralih ke Pertamax hal itu bukan justru semakin memanaskan tensi sosial?
>> Tarif Transportasi Publik Ikut Terdampak
Narasi yang paling sering disampaikan perihal kenaikan harga BBM adalah agar masyarakat beralih mempergunakan transportasi publik ketimbang menggunakan kendaraan pribadinya sendiri.
Hanya saja dari dulu hingga sekarang masalah kondisi transportasilah yang belum mampu memberikan dukungan mumpuni. Kasus kriminalitas, kepadatan penumpang, dan ditambah lagi tarif harga.
Lain halnya ketika sarana transportasi publik memang benar-benar memberikan kenyamanan bagi para penggunanya. Tanpa dipaksa sekalipun mereka akan secara sukarela mempergunakannya.
Selain itu masih banyak juga diantara warga negara kita yang sering bepergian dari satu tempat ke tempat lain menggunakan angkutan umum. Misalnya bepergian ke luar kota. Hitung-hitungan ongkos transportasi menggunakan angkutan umum bisa jadi dinilai lebih tinggi ketimbang saat kita mempergunakan kendaraan milik pribadi.
Dengan kondisi semacam itu kira-kira mana yang akan dipilih? Pada umumnya adalah harga terendahlan opsi terbaik yang menjadi pilihan utama. Jika sudah seperti itu lantas apa efek yang terjadi selanjutnya? Penumpukan kendaraan, pengurangan jumlah penghasilan angkutan umum, polusi, dan lain sebagainya.
>> Ongkos Produksi Meningkat Berpotensi Melemahkan Daya Saing Harga Jual Produk Dalam Negeri
Hal ini tidak terkait dengan kepentingan Pertamina, melainkan segenap industru atau usaha terdampak yang menggunakan BBM produksi Pertamina.
Saat sebelumnya produksi mereka menggunakan dukungan bensin Premium dan Pertalite, atau Solar 48 dan lantas diharuskan berganti dengan BBM dengan harga yang lebih mahal seperti Pertamax atau Perta-Dex maka hal itu akan memberikan efek langsung terhadap pembebanan biaya produksi mereka.
Harga Pokok Produksi (HPP) mereka meningkat sedangkan harga jualnya tetap. Efeknya adalah keuntungan berkurang atau lebih buruk lagi mengalami kerugian. Efisiensi bisa terkorbankan dalam hal ini apabila harga BBM ternyata lebih tinggi dari sebelumnya.
Produk hasil produksi usaha yang terdampak oleh harga BBM ini sangat mungkin tersingkir dalam persaingan apabila ada produk lain yang lebih murah tapi kualitasnya sama atau bahkan lebih baik. Misalnya ketika ada produk impor yang menjamur di pasar dalam negeri. Produk hasil karya anak bangsa akan menjadi terasing di tengah bangsanya sendiri.
Demikian halnya ketika ada kebutuhan produk untuk ekspor. Harga produksi yang tinggi sangat riskan memukul daya saing harga jual produk kita di luar negeri. Bahkan persaingannya pasti lebih keras dibandingkan pasar dalam negeri sendiri.
>> Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi
Saat harga barang kebutuhan banyak yang meningkat, industri terganggu hingga berujung pada banyaknya pekerja dirumahkan, serta inflasi juga berisiko meningkat, maka akumulasi dari semuanya adalah pertumbuhan ekonomi yang mengalami pukulan telak. Bukan lagi sekadar perlambatan, melainkan bisa menjurus pada kemunduran.
Dengan kasus COVID-19 seperti sekarang saja angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah berkurang jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bayangkan ketika hal itu akan diperparah dengan kebijakan penghapusan BBM oktan rendah ini. Efeknya akan seperti apa.