Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Tafsir Halu Lagu "Balonku", Pemuka Agama Harus Lebih Bijak

Diperbarui: 13 Juni 2020   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar : kemenag.go.id

Belakangan ini tengah hangat dibicarakan sebuah video ceramah seorang ustadz yang menyinggung lagu "Balonku" sebagai lagu yang mengajari kebencian terhadap Islam. Sang ustadz mengidentikkan Islam dengan warga hijau dan agama lain dengan warga yang lainnya. Lirik "meletus balon hijau" dianggapnya sebagai sebuah "ajaran kebencian" terhadap Islam kepada anak-anak. 

Padahal lagu ini sudah melegenda sejak lama dan sudah menjadi "lagu wajib" anak-anak yang belajar menyanyi. Ironisnya, sedari dulu tidak pernah ada seorangpun yang mempermasalahkan lirik lagu balonku ini. Baru sekarang tiba-tiba muncul penilaian semacam itu. Menafsiri lagu balonku dengan begitu dalamnya. Entah menggunakan rujukan dari mana itu. Bukannya terlihat cerdas penilaian tersebut, malah justru mengesankan pemahaman penuh halusinasi.

Dalam beberapa hal Islam memang dikesankan dengan simbol bendera  warna hijau. Tapi bukan berarti meletusnya balon hijau adalah bagian dari ajaran kebencian terhadap Islam. Saya yakin pencipta lagu tersebut, Pak Kasur, dan penggubahnya, A.T. Mahmud samasekali tidak memiliki tendensi apapun terhadap Islam. 

Entah karena paranoid atau karena terlalu kreatif dalam menyelami makna lagu balonku sehingga sang ustadz memiliki pemahaman sedemikian "liar". Sebagai seorang pemuka agama seharusnya beliau tidak perlu menyuarakan argumen semacam itu. Iya, argumen. Penafsiran itu hanyalah sebuah argumen yang jelas-jelas tidak memiliki landasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Hanya saja apa yang beliau sampaikan ini bukannya membuat umat Islam terlihat cerdas, justru sebaliknya. Menjadi bahan olokan orang-orang yang telah lama memiliki sinisme itu. Sangat disayangkan penafisran yang beliau sampaikan ini.

Semakin menjadi ironi karena bukan hanya lagu balonku yang menjadi "korban" penafsiran liar sang ustadz. Lagu "Naik-naik ke Puncak Gunung" pun juga tidak luput dari kritiknya. Menurutnya lagu tersebut terlalu mengedepankan agama Kristen. Pohon cemara disebutnya merepresentasikan hal itu. 

Padahal kalau difikir-fikir sejak kapan tumbuh-tumbuhan punya agama? Jikalau saudara-saudara kita umat Kristiani menjadikannya sebagai bagian dari perayaan Natal maka itu bukan menjadi pengesahan pernyataan tersebut. Semua berhak menggunakannya untuk apapun.

Menyinggung dan mengait-ngaitkan sebagaimana yang ustadz ini lakukan seperti menunjukkan bukti terjadinya krisis toleransi di bangsa ini. Mungkin ada orang yang sepandangan dengan penilaian sang ustadz. Tapi sepertinya penafsiran tersebut harus diluruskan. Lagu "Balonku" dan "Naik-naik ke Puncak Gunung" tetaplah lagu sebagai bagian penghias masa kecil anak-anak kita. 

Tidak perlulah itu didramatisir sebagai sebuah upaya untuk mendiskreditkan agama tertentu. Cukup beberapa kalangan yang menjadi pemanas tensi hubungan antar umat beragama. Tapi kita jangan sampai menjadi salah satu diantaranya. Mari kita ciptakan suasana yang harmonis di negeri ini. Terlebih dalam situasi pandemi seperti sekarang. Kita sangat butuh bersinergi untuk melewati masa-masa berat ini.  

Salam hangat,

Agil S Habib 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline