Akhir-akhir ini salah seorang begawan ekonomi Indonesia, Rizal Ramli (RR), getol menyoroti keberadaan pada buzzer bayaran (BuzzerRp) yang seringkali mencuitkan unggahan menyudutkan pribadi beliau. RR menyebut bahwa para buzzerRp tersebut adalah para militan yang sebenarnya memperburuk citra pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sikap kritis yang ditunjukkan RR selama ini ternyata membuah gerah para simpatisan "hitam" Jokowi sehingga membuat mereka melancarkan serangan frontal.
Bukan lagi sanggahan ketidaksetujuan yang mereka utarakan, tetapi sudah menjurus pada pernyataan-pernyataan yang merendahkan dan melecehkan.
RR bisa dibilang sangat dongkol terhadap keberadaan para buzzerRp ini sehingga beliaupun memberikan tips khusus untuk memberantas apa yang disebutnya sebagai "sampah demokrasi" itu.
Melalui cuitan di laman twitter miliknya, RR menyebutkan setidaknya ada empat langkah memerangi para buzzerRp, yaitu :
- Blokir Akun BuzzerRp
- Screenshot Unggahan untuk Dijadikan Bukti
- Lakukan Serangan Balik Menggunakan Bukti Screenshot yang Sudah Diambil
- Stop Re-Twet atau Menanggapi Unggahan BuzzerRp Secara Langsung agar Unggahan Tersebut tidak Beranak-pinak
Keberadaan buzzerRp bisa dibilang tidak memberikan nilai tambah apapun terhadap proses demokrasi yang terjadi di negeri ini. Melakukan tindakan intimidasi dan menolak perbedaan pendapat adalah ciri bahwa kita tidak siap menjalani kehidupan berdemokrasi.
Era order baru sudah usai tahun 1998 silam dan berganti menjadi era reformasi. Era tersebut diharapkan membuat semua warga negara bisa dengan leluasa mengutarakan uneg-unegnya.
Apabila dirasa ada kebijakan penguasa yang kurang relevan, kritik yang dilontarkan merupakan sebuah upaya untuk menyeimbangkannya. Mekanisme check and balance harus berjalan dalam sebuah negara demokrasi. Sehingga tidak perlu alergi akan keberadaan sebuah kritik.
Akan tetapi ada beberapa kalangan yang sepertinya merasa terancam dengan keberadaan sebuah kritik. Menjadi terlalu paranoid hingga menganggap sebuah diskusi publik bisa berujung pemakzulan bahkan upaya makar.
Ujung-ujungnya "tentara bayaran" dikerahkan untuk meneror orang-orang yang dianggap tidak sepaham dan sepemikiran. Demokrasi di era digital solah membuat negeri ini dewasa secara prematur. Seperti belum siap menjalani proses demokrasi ditengah gagap gempita teknologi informasi.
Digitalisasi yang sayogyanya dijadikan penguat jalannya demokrasi malah berlaku kontradiksi. Kecaman, kekangan, hingga ancaman yang beredar dengan bantuan teknologi informasi seperti mendorong kita mundur jauh kebelakang sebagai sebuah negara yang menganut paham demokrasi. Itukah yang kita mau?