Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Ugal-ugalan Impor China, Nasib Produk Dalam Negeri di Ujung Tanduk?

Diperbarui: 8 Juni 2020   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi produk China: www.merdeka.com

"Cintailah produk-produk dalam negeri.", kalimat itu populer disampaikan oleh salah seorang pengusaha besar tanah air pemilik perusahaan Grup Maspion, Alim Markus. Baru-baru ini beliau mengeluhkan hujan produk impor produk asal China yang masuk ke Indonesia. 

Menurut Markus, efek perang dagang antara China dan Amerika berdampak langsung terhadap nasib produk industri dalam negeri. Pemberlakuan tarif tinggi bea masuk tinggi oleh pemerintah Donald Trump membuat China mengalihkan penjualannya ke beberapa negara dengan tarif bea masuk lebih rendah. Salah satunya Indonesia. 

Sebagai perbandingan, bea masuk untuk produk aluminimum foil di Amerika Serikat adalah sebesar 60%. Sedangkan di Indonesia hanya dikenakan 6% saja. Hal ini membuat salah satu perusahaan milik pengusaha asal Indonesia tersebut turut terkena dampak. 

Sudah bukan rahasia lagi apabila produk-produk asal China memang terkenal dengan harganya yang jauh lebih murah. Bersaing dalam harga dengan mereka sama dengan bunuh diri. Oleh karena itu perlindungan dari pemerintah mutlak diperlukan. AS dengan Donald Trump sudah mengupayakan itu dan kenyataannya berhasil "memukul mundur" beberapa produk asal China yang masuk kesana. Lantas bagaimana dengan pemerintah Indonesia?

Sebenarnya bukan hanya Alim Markus dengan Grup Maspion miliknya yang turut terkena imbas masuknya produk asal China secara ugal-ugalan. Para pengusaha putra-putri asli Indonesia juga pasti mengalami situasi serupa. 

Apabila situasi ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin sektor dasar yang dulu sempat menjadi penyelamat ekonomi selama masa krisis 1998 yaitu UMKM akan mengalami nasib lebih tragis. Harus diakui bahwa efisiensi dan produktivitas industri kita masih kalah jauh dengan China. China sudah membangun sebuah rantai pasok yang terkoneksi di seluruh wilayahnya sehingga membuat ongkos produksi bisa ditekan seminimal mungkin. 

Apabila Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa China merupakan salah satu kekuatan besar ekonomi dunia maka hal itu memang benar adanya. Industri yang dimiliki China memang mendukung hal itu. 

Lantas jikalau produk-produk hasil industri dalam negeri dibiarkan head to head secara langsung dengan produk-produk asal negeri tirai bambu itu tanpa adanya dukungan mumpuni dari pemerintah, itu sama artinya dengan membiarkan industri kita mati. Pada akhirnya kita hanya akan menjadi konsumen saja. Konsumen produk-produk asal China.

Pemerintah boleh-boleh saja berhubungan baik dengan China. Peringatan beberapa pihak terkait potensi bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) pun seringkali dianggap lelucon atau sekadar angin lalu. Barangkali memang isu itu belum terlalu penting juga untuk diangkat ke ruang publik. 

Tapi menyangkut semakin banyaknya produk impor asal China masuk ke Indonesia hal itu mesti segera disikapi. Minimal pemerintah bersikap tegas melalui pemberlakuan bea masuk yang menjadikan harga jual produk asal China bisa sama atau lebih mahal daripada produk hasil karya anak bangsa. Dengan demikian persaingan akan terlihat lebih fair untuk dilakukan. 

Tinggal selanjutnya bagaimana memberi dukungan agar produk-produk dalam negei bisa lebih efisien dan lebih berkualitas. Seiring berjalannya waktu dengan membaiknya kuantitas dan kualitas produk buatan dalam negeri, revisi bea masuk produk asal China dan juga negara-negara lain sedikit demi sedikit bisa "dipulihkan" kembali. Hanya memang untuk saat ini mau tidak mau kita harus bermain "kotor" untuk memberlakukan tarif bea masuk lebih tinggi. Hal itu semata demi upaya perlindungan terhadap produk-produk dalam negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline