Gaung pemberlakuan normal baru atau new normal sudah sangat terasa. KRL yang selama PSBB begitu dibatasi kini sudah disesaki penumpang. Masjid-masjid yang sebelumnya ditutup dari seluruh kegiatan keagamaan perlahan mulai dilonggarkan dimana kemarin (05/06) menjadi penyelenggaraan sholat Juma'at perdana dengan protokol new normal. Perkantoran-perkantoran mulai dizinkan beroperasi meski dengan syarat tertentu.
Kewajiban mengenakan masker dan physical distancing adalah sebuah keharusan yang mesti dijalani agar upaya penyelamatan ekonomi bisa maksimal serta kesehatan warga negara senantiasa terlindungi. Bukan perkara mudah memang, karena sebagian masyarakat kita justru menilai new normal sebagai saat dimana kita terlepas dari belenggu pembatasan interaksi sosial yang selama beberapa waktu terakhir ini diberlakukan.
New normal seakan dimaknai sebagai new year dimana orang-orang tumpah ruah menyambut periode "kebebasan baru". Ada yang mengaku bosan terus-terusan berada di rumah dan memerlukan rekreasi. Dan sepertinya akhir pekan ini beberapa tempat wisata akan mulai dipadati pengunjung.
New normal adalah sebuah gagasan dimana kita harus menjalani rutinitas kita sebelum-sebelumnya dengan cara yang cukup banyak berubah. Saat bersua sahabat biasanya ada budaya berpelukan atau minimal berjabat tangan erat kini hal itu sepertinya harus dilupakan. Antrean panjang yang kebanyakan berdempetan dan berdesakan mau tidak mau harus lebih berjarak. Masjid-masjid yang biasanya muat menampung jamaah satu kampung terlihat lebih sempit karena protokol jarak yang mesti diberlakukan antar jamaah. Sangat berbeda dibanding periode sebelum hadirnya pandemi COVID-19.
Banyak yang mengira bahwa kita akan segera kembali pada situasi sebelum COVID-19 melanda. Mungkin hanya beberapa bulan saja situasi sudah akan kembali membaik. Tidak perlu lagi social distancing. Namun harapan itu sepertinya harus dilupakan terlebih dahulu. Pandemi masih terjadi meski dengan situasi yang barangkali tidak semencekam sebelumnya. Kita "terpaksa" atau "dipaksa" untuk menjalani rutinitas seperti biasanya.
Ekonomi yang carut marut perlu untuk segera dibenahi. Sektor-sektor vital harus kembali berjalan dan memberikan harapan penghasilan bagi masyarakat. Ditengah situasi yang belum benar-benar kondusif ini, menjalani normal baru adalah satu-satunya jalan keluar. Normal baru bukanlah periode dimana kehidupan normal kita yang dulu kembali lagi. Melainkan tatanan kehidupan dengan cara yang samasekali baru. Bahkan mungkin inilah pertama kalinya dalam sejarah kita menjalani hidup seperti sekarang.
Kita harus tetap sehat, tetap selamat, dan tetap mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Syaratnya kita tidak boleh memandang new normal layaknya new year yang disambut dengan suka cita dan euforia berlebih sehingga melupakan hal-hal penting seperti menjaga jarak atau mengenakan masker. Ramai-ramai memenuhi pusat kerumunan dan terlebih abai terhadap protokol COVID-19 adalah sebuah sikap yang mesti dijauhi.
New normal adalah tentang kebiasaan baru (new habit). Kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya awam bagi kita sekarang mesti dijalankan supaya kita senantiasa terlindungi dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kita harus lebih sehat dari sebelumnya, lebih disiplin dari sebelumnya, dan lebih peduli dari sebelumnya. Itu semua memerlukan new habit agar kita tetap konsisten mentaati protokol kesehatan yang ada selama periode new normal.
Sampai kapan? Entah. Ada yang bilang sampai akhir tahun 2020, ada yang mengatakan selama 3 tahun, dan ada juga yang bilang untuk selamanya. Bukan tidak mungkin virus corona COVID-19 masih akan terus menetap di sekitar kita mengingat tidak ada satupun yang berani menjamin bahwa COVID-19 akan benar-benar sirna suatu hari nanti. Sehingga jalan paling aman adalah dengan tetap memberlakukan normal baru, menjalani new habit untuk masa-masa yang akan datang. Apakah kita bisa? Sepertinya semua hanya butuh pembiasaan.
Salam hangat,
Agil S Habib