Rumah merupakan salah satu kebutuhan penting semua orang. Setiap orang pasti berharap memiliki tempat hunian sendiri. Mengontrak rumah atau tinggal di tempat kos-kosan hanyalah opsi sementara sembari mengupayakan untuk tetap memiliki rumah hunian sendiri.
iarpun hal itu diperoleh melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dan bagi sebagian kalangan yang memilili pendapatan minimalis, KPR bersubsidi merupakan sebuah jalan yang akan memperingan harapan mereka untuk memiliki rumah hunian sendiri.
Biarpun pengurusannya sedikit lebih rumit hal itu tidak menjadi masalah asalkan semua masih dalam batasan tertentu. Yang menjadi masalah justru adalah kualitas dari perumahan yang disokong oleh dana subsidi itu.
Rumah subsidi seringkali dilabeli dengan rumah kualitas rendah, ala kadarnya, dan "haram" untuk komplain jikalau terdapat keluhan ketidakpuasan kondisi perumahan.
Sebuah perumahan yang menjadi hunian kerabat saya kebetulan merupakan rumah "produk" KPR bersubsidi. Sedari awal dibangunsebenarnya kondisi rumah sudah mengindikasikan adanya masalah.
Keramik rumah terpasang tidak rata, dinding retak, pintu sukar dibuka, dan lain sebagainya. Saat diajukan komplain, sayangnya respon yang dituai justru tidak sesuai harapn. Bahkan ada yang mengatakan agar pemilik rumah memaklumi kondisi tersebut mengingat itu adalah rumah subsidi.
Padahal, dalam setiap promo perumahan tidak pernah sekalipun ada yang mempromosikan bahwa perumahan subsidi itu memiliki kekurangan ini dan itu. Lantas ketika komplain dilakukan kok malah nyinyiran yang didapat?
Satu hal lagi, beberapa daerah yang ditempati perumahan ternyata kondisinya tidak cukup layak untuk ditempati perumahan. Berada dekat Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau bahkan rawan terkena banjir.
Khusus untuk banjir, saya kira hampir tidak ada yang berharap membeli rumah di kawasan banjir. Siapa juga yang mau digelayuti kekhawatiran setiap kali hujan turun maka rumahnya akan terandam air.
Pertanyaannya sekarang, mengapa ada bank yang berkenan mengucurkan dana kepada pihak developer dan menyetujui atau meng-ACC penjualan perumahannya padahal di lokasi tersebut ternyata kondisinya tidak cukup layak untuk ditempati sebuah hunian tempat tinggal? Apakah tidak ada syarat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terkait persetujuan penjualan rumah bersubsidi?
Jikalau asal memberikan ACC saja maka hal itu hanya akan sebatas kepentingan bisnis semata tanpa ada kepedulian sosial disana. Masyarakat yang menjadi konsumen dalam hal ini Cuma menjadi "sapi perah" yang akan merasa paling merugi.