Penggusuran Alexis gaduh, instalasi getah getih gaduh, anggaran lem gaduh, banjir awal tahun gaduh, dan kini revitalisasi Monumen Nasional (Monas) pun Jakarta kembali gaduh. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (ABW) seakan terus-menerus menjadi sasaran kritik bahkan bully dari beberapa kalangan yang tidak cukup puas dengan kinerjanya bahkan keberadaannya.
Lontaran kritik hingga desakan untuk mundur sudah bukan barang tabu lagi disebutkan sekaligus dialamtkan kepada eks Rektor Universitas Paramadina ini. Namun sejauh ini ABW masih tetap berada pada jabatannya sebagai gubernur meski tanpa keberadaan wakil gubernur disampingnya.
"Serangan" yang datang bertubi-tubi dan silih berganti entah bisa disebut sebagai ujian atas jabatan sebagai pemimpin ibukota ataukah bentuk nyata penolakan dari orang-orang yang membenci pribadi beliau. Selama ABW masih berada pada jabatannya sekarang, selama itu pula ia akan terus dihadapkan pada "badai" kritikan dan sinisme.
Menengarai kegaduhan Jakarta sebenarnya tidak perlu menjadi bagian dari warga Jakarta itu sendiri. Orang-orang yang berada dari kejauhan saja sudah cukup tahu bahwa wilayah ibukota itu memang dipenuhi kegaduhan baik secara politis maupun non politis.
Jakarta tak ubahnya tempat untuk mencitrakan diri para elit, tempat nampang di media masa, dan ajang unjuk gigi kepada publik. Mengesankan seolah wilayah DKI Jakarta begitu diperhatikan para pengelolanya padahal sebenarnya belum tentu demikian.
Indonesia bukan hanya Jakarta, dan gubernur bukan hanya Anies Baswedan. Namun seolah-olah bumi Indonesia ini begitu kecil hingga kita hanya menyorot bagian kecil dari Indonesia itu.
Memang benar bahwa Jakarta adalah ibukota Indonesia, sehingga layak mendapatkan atensi lebih dari wilayah lain. Patut dinantikan apakah ibukota baru nanti akan mendapatkan atensi serupa dengan Jakarta saat ini. Ataukah kegaduhan yang belakangan terjadi hanya karena keberadaan sosok ABW disana yang keberadaannya ditengarai akan menjadi figur utama pilpres 2024 mendatang.
Kalau semua itu hanya karena ABW dan potensi dirinya sebagai capres, maka kita harus berkaca diri bahwa ternyata orientasi kita masihlah sebatas kekuasaan saja. Bagi lawan politiknya, ABW adalah sosok yang memiliki dua hal bertolak belakang. Disatu sisi ia harus segera disisihkan.
Sedangkan disisi lain ABW adalah sosok yang bisa dipakai untuk "numpang" popularitas. Karena setiap kali yang membawa-bawa nama ABW akan cenderung menjadi pusat perhatian. ABW adalah "papan iklan" bagi mereka yang merindukan pencitraan.
Saya bukan warga DKI Jakarta, tetapi saya cukup "eneg" membaca pemberitaan perihal Jakarta yang itu-itu saja. Apakah tidak ada sesuatu yang lebih berkelas untuk diangkat sebagai pemberitaan daripada sekadar kegaduhan demi kegaduhan.
Laman media masa terlalu sesak dengan pemberitaan yang tidak memiliki sisi inspirasi akan keberadaan Jakarta sebagai ibukota negara. Jika sudah demikian, maka layakkah kita berharap lebih dari Jakarta?