Ketika Barack Obama masih berkuasa dan menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) hingga dua periode, dunia masih belum "kenal" dengan istilah perang dagang. Begitupun dengan era-era presiden AS sebelumnya. Relatif "adem ayem" dan mengesankan AS sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia yang berdiri di puncak seorang diri.
Kalaupun mendengar istilah perang yang melibatkan nama AS didalamnya, mungkin publik dunia lebih mengetahui perang AS dengan Irak, dengan Vietnam, atau "Perang Dingin" yang juga sempat berlangsung lama antara AS dengan Uni Soviet. Perang dingin sendiri juga beerlangsung cukup lama dan baru berakhir ketika Uni Soviet runtuh.
Namun beberapa waktu terakhir dunia mengenal adanya perang "gaya" baru yang disebut dengan "Perang Dagang". Perang ini melibatkan dua negara adidaya ekonomi dunia, AS dan China atau Tiongkok. Maju pesatnya perekonomian negeri tirai bambu mau tidak mau "mengusik" kenyamanan negeri Paman Sam sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Drama perang dagang pun "resmi" bermula sejak Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat dan mengeluarkan kebijakan pengenaan tarif 25% untuk impor baja dan 10% untuk aluminimum dari sejumlah negara. Pada tanggal 22 Maret 2018 Donald Trump menyatakan memberi penangguhan tarif tersebut kepada beberapa negara, tetapi hal ini tidak berlaku untuk China. Kebijakan kontroversial Trump ini kemudian direspon balik oleh pemerintah China dengan mengenakan bea masuk 128 produk AS ke China sebesar 15 -- 25%.
Pada tanggal 19 Mei 2018 kedua negara sempat memutuskan bertemu untuk merancang kesepakatan "damai". Namun sekitar tanggal 6 Juli 2019 AS kembali mengenakan bea masuk 25% untuk impor produk-produk China termasuk diantaranya mobil, hard disck, dan suku cadang pesawat. China pun membalas memberlakukan kebijakan yang sama untuk produk-produk serupa yang dikenai tarif bea masuk oleh AS.
Aksi "saling balas" kebijakan seperti kenaikan tarif bea masuk dan pelarangan membeli atau menjual sejumlah produk diantara kedua negara semakin membuat "gaduh" perekonomian dunia. Hingga muncullah istilah perang dagang yang kemudian menjadi headline di media-media seluruh dunia termasuk Indonesia.
Banyak sekali permasalhan ekonomi yang dikeluhkan seiring adanya perang dagang antara dua negara adidaya tersebut. Sebagian negara merevisi pertumbuhan ekonominya akibat perang dagang. Meskipun ada juga diantaranya yang merengguk keuntungan pasca dimulainya perang dagang AS -- China ini.
Jika ditelisik dari kronologi terjadinya perang dagang AS -- China, Donald Trump bisa disebut sebagai "aktor utama" penyebab terjadinya hal ini. Kebijakan Trump untuk mengenakan tarif bea masuk terhadap produk-produk China telah memantik "amarah" hingga memicu lahirnya aksi balasan dari pemerintah China.
Sesuatu yang kemudian justru terjadi berkepanjangan dan membuat "heboh" ekonomi dunia. Jika memang Donald Trump adalah "pangkal" masalah dari perang dagang ini, maka mungkinkah pemakzulan terhadap Trump oleh DPR AS yang baru-baru ini terjadi bisa mengakhiri perang dagang AS - China?
Apabila Trump telah benar-benar "tersingkir" dari pemerintahan Amerika Serikat, maka mungkinkah drama perang dagang yang sudah cukup lama terjadi ini akan berakhir? Bisa iya, tetapi bisa juga tidak. Pemegang mandat pemerintah AS pasca Trump belum tentu tidak "melanjutkan" kebijakan yang diperbuat oleh pendahulunya.
Bagaimanapun juga, "berkat" sikap keras Trump terhadap China kini telah memunculkan para "simpatisan" yang cenderung antipati terhadap produk-produk China di AS. Hal inilah yang bisa saja berpotensi memperpanjang episode prang dagang antara AS dan China di masa mendatang. Akan tetapi terlepas berakhir atau tidaknya perang dagang AS -- China ini, kita bangsa Indonesia tentu tidak boleh banyak berharap hal itu akan memberikan dampak baik bagi Indonesia.