Menyebut nama Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) maka hal itu tidak akan bisa dipisahkan dari sosok Jend. TNI (Purn) Wiranto. Meskipun Partai Hanura didirikan bersama-sama antara beberapa tokoh, tidak bisa dipungkiri bahwa eksistensi partai ini senantiasa dikaitkan dengan Wiranto. Analogi yang sama dengan PDI-Perjuangan dengan Megawati, Partai Demokrat dengan SBY, dan Partai Gerindra dengan sosok Prabowo Subianto.
Bahkan ketika Partai Hanura mengikuti pemilihan umum (pemilu) pertama kali pada tahun 2009 lalu, Wiranto maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) Jusuf Kalla yang waktu itu menjadi calon presiden (capres). Hanya saja pasangan Jusuf Kalla -- Wiranto harus mengakui keunggulan pasangan SBY -- Boediono.
Partai Hanura sendiri pada pemilu legislatif (pileg) 2009 mendapatkan perolehan suara sekitar 3,8 % atau untuk 18 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada pileg 2014 perolehan kursi Partai Hanura berkurang menjadi 16 kursi saja. Dan yang paling "parah" adalah pileg 2019 dimana Partai Hanura harus "gigit jari" karena tidak menempatkan satu pun kursi perwakilannya di DPR. Mereka kalah bersaing dengan partai-partai baru seperti Partai Perindo besutan Hary Tanoesudibjo. Hal ini tentu menjadi pukulan tersendiri bagi Partai Hanura karena harus "tersingkir" oleh partai-partai lain.
Sebagai salah satu tokoh yang disegani oleh Partai Hanura, sosok Wiranto tentu seringkali dikedepankan untuk menjadi ujung tombak "pencitraan" partainya. Termasuk ketika partai ini mendapatkan jatah menteri dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pemerintahan pertama dulu. Kala itu Wiranto ditunjuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Meski untuk periode kedua pemerintahan Jokowi ia digantikan oleh Mahfud MD, Jokowi tetap memberikan peran besar kepada Wiranto sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Wiranto yang "Terusir"
Posisi baru di pemerintahan Jokowi terkesan tidak disukai oleh kader Partai Hanura. Hal ini disampaikan oleh Ketua DPP Partai Hanura inas Nasrullah Zubir yang menyebut keberadaan Wiranto sebagai Wantimpres tidaklah mewakili partainya. Inas bahkan menyebut bahwa Wiranto sudah tidak lagi memiliki ikatan emoisonal dengan Partai Hanura.
Katanya, "Wiranto is no longer a part of Hanura because his ambition." Wiranto dituding Inas telah menukar jatah dua menteri untuk kader Partai Hanura menjadi satu saja yaitu Menkopolhukam yang dijabat Wiranto pada kabinet periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi. Menurut penilaian Inas, seharusnya Wiranto lebih menfokuskan pikirannya untuk membangkitkan kembali Partai Hanura agar bisa memperoleh kursi pada pemilu 2024 mendatang. Bukan malah menjadi Wantimpres Jokowi.
Efek dari hal ini Wiranto pun seperti tidak dianggap lagi oleh kader-kader Partai Hanura. Ketika partai ini menggelar Musyawarah Nasional (Munas) III baru-baru ini, Wiranto tidak diundang untuk hadir. Dalih yang diutarakan adalah munas digelar secara internal sehingga hanya melibatkan DPD, DPC, dan DPP saja. Sedangkan Wiranto tidak termasuk dalam struktur itu karena posisinya adalah sebagai Dewan Pembina Partai Hanura. Akan tetapi pernyataan ini sebenarnya terkesan klise.
Tidak diundangnya Wiranto ke munas lebih terkesan sebagai langkah "pengusiran" kepada sosok yang temasuk sebagai founding father Partai Gerindra ini. Sebenarnya merupakan sebuah ironi bagi sosok Wiranto yang dulu seperti "dipuja-puja" oleh para kader partai tetapi kini justru seperti tidak dianggap. Apakah ini memang murni karena kesalahan Wiranto atau karena ketidakbutuhan partai terhadap purnawiraan TNI ini lagi yang dianggap tidak memiliki magnet elektoral sehingga berakibat lengsernya Hanura dari kursi-kursi di DPR? Entahlah.
Salam hangat,
Agil S Habib