Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Merdeka dalam Belajar

Diperbarui: 5 Desember 2019   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukankah belajar itu seharusnya menyenangkan? | Sumber gambar : alifakids.com

Dalam suatu kesempatan ketika masih menjadi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) beberapa tahun lalu saya merasakan adanya dinamika belajar yang berbeda-beda pada diri setiap siswa di kelas. Untuk beberapa mata pelajaran tertentu adakalanya sebagian menyukai dan antusias mengikuti materi-materi yang disampaikan oleh guru, namun dalam beberapa mata pelajaran lainnya seperti kehilangan gairah.

Ketika pelajaran Fisika, Kimia, atau Matematika diajarkan, sebagian siswa terlihat seperti menghadapi beban begitu berat. Terlebih ketika mendapatkan Pekerjaan Rumah (PR) dan mesti dilaporkan keeseokan harinya. Aksi tanya kiri kanan mencari contekan seperti menjadi sesuatu yang biasa dan wajar terjadi. Demi solidaritas dan kasihan melihat rekan-rekannya mendapatkan marah atau penilaian buruk dari guru, maka beberapa teman yang lain pun bersedia membagi hasil kerjanya. Hal itu hampir selalu berlangsung setiap kali ada tugas-tugas sekolah yang "cukup sulit" untuk dikerjakan.

Fenomena itu adalah sesuatu yang sangat jamak ditemui dalam berbagai institusi pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga jenjang Perguruan Tinggi (PT). Apakah perilaku para peserta didik itu salah? Mungkin iya. Tetapi bagaimana dengan keharusan untuk menuntaskan pembelajaran dari materi pelajaran yang sebenarnya "tidak diharapkan" oleh para peserta didik?

Bagi peserta didik yang suka Matematika, Fisika, Kimia, Bahasa Inggris, dan lain sebagainya maka menjalani pelajaran tersebut terasa begitu menyenangkan. Lalu bagaimana dengan mereka yang "alergi" terhadapnya? Seandainya diizinkan untuk tidak mengikuti pelajaran-pelajaran yang tidak dikehendaki tetapi tetap bisa berhasil naik kelas atau lulus maka mungkin para peserta didik itu akan lebih memilih untuk tidak ikut. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih dipukul sama rata dan sama rasa dan bukan customize sesuai kehendak masing-masing individu.

Pertanyaan what do you want to learn? sepertinya masih belum relevan diajukan kepada para peserta didik karena sejauh ini kita masih menganut "paham" pendidikan you have to learn. Maksudnya adalah para peserta didik, terlebih pada jenjang sekolah sudah ditentukan proporsi mata pelajarannya tanpa dikaji lebih jauh mereka sebenarnya suka atau tidak, butuh atau tidak. Jika suka silahkan diikuti prosesnya, tapi jika tidak suka silahkan tinggalkan. Namun opsi untuk meninggalkan adalah opsi tidak populer karena akan menghambat peserta didik untuk menikmati jenjang pendidikan selanjutnya akibat ketiadaan bukti kelulusan seperti ijazah atau sejenisnya.

Mungkin diantara kita pernah menyaksikan film berjudul "Accepted" yang bercerita tentang anak-anak muda tanpa kejelasan arah pendidikan formal. Sebagian ada yang "terjerat" sistem pendidikan pragmatis, dan sebagian yang lain tertolak oleh lembaga pendidikan karena ketidaksinkronan pola pendidikan dengan passion yang mereka miliki.

Hingga pada akhirnya para pemuda "frustasi" itupun mendidirikan sebuah lembaga pendidikan "ilegal"yang mengizinkan para peserta didiknya untuk memilih dan menentukan sendiri hal-hal yang ingin mereka pelajari. Gagasan dalam film ini sepertinya cukup merepresentasikan tentang apa itu Merdeka Dalam Belajar. Dimana kita bisa belajar apapun sesuai minat yang kita miliki tanpa kekangan atau keharusan untuk menjalani pelajaran ini dan itu.

Sepertinya penting untuk diterjemahkan tentang materi-materi apa yang "diinginkan" atau "dibutuhkan" dalam suatu proses pembelajaran. Jika sebatas mengejar keinginan untuk belajar sesuatu, terkadang ada hal-hal yang terlewat yang semestinya kita ketahui. Oleh karena itu harus ada sebuah sinergi antara keduanya agar yang "dibutuhkan" dapat dijalani senikmat menjalani apa yang "diinginkan".

Mungkin Mas Nadiem Makarim perlu mempertimbangkan hal ini juga dalam penyusunan kurikulum barunya nanti.

Salam hangat,

Agil S Habib      

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline