"Piye kabare, Le? Enak jamanku toh?" (Bagaimana kabarnya, Nak? Enak zamanku kan?). Pernah menjumpai "meme" bergambar almarhum Presiden Soeharto melambaikan tangan dan disertai tulisan tadi? Itulah sindiran yang seringkali disampaikan beberapa orang untuk mengolok-olok kondisi bangsa ini pasca era order baru tumbang. Entah motif utamanya karena sang pembuat kalimat adalah simpatisan mendiang Preside Soeharto atau karena kejengkelan terhadap kondisi bangsa pasca reformasi yang dirasa tidak terlalu berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Satu "warisan" Orde Baru (Orba) yang paling dikenang dan membuat Almarhum Pak Harto menjabat posisi presiden hingga 32 tahun lamanya adalah perihal pemilihan presiden yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Reformasi 1998 adalah titik perubahan besar-besaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Meskipun Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai presiden dengan cara yang serupa dengan Presiden Soeharto, namun ketiganya adalah bagian penting dalam transisi sistem pemilihan kepala negara secara langsung sebagaimana yang kita jalankan saat ini.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah orang pertama yang mendapatkan mandat rakyat secara langsung guna menduduki kursi Presiden. Hingga saat ini, sistem pemilihan presiden (pilpres) secara langsung masih dipercaya sebagai cara terbaik dalam menentukan sosok pemimpin nomor 1 bangsa.
Baru-baru ini ramai pembahasan terkait wacana presiden kembali dipilih oleh MPR sebagaimana era orba dulu. Beberapa pihak mengusulkan hal ini seperti Ketua MPR Periode 2019 -- 2024 dari Partai Golkar, Bambang Soesatyo, dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siraij.
Beberapa argumentasi yang diutarakan terkait usulan ini diantaranya adalah karena ruwet dan mahalnya pilpres secara langsung. Belum lagi konflik horisontal antar warga negara yang menjadi simpatisan dari masing-masing kandidat presiden. Selain itu caci maki dari satu golongan kepada golongan yang lain dengan mudahnya terjadi. Ini bisa kita lihat dari dinamika pilpres selama beberapa tahun terakhir yang membawa suasana panas dalam kancah perpolitikan tanah air. Mengemukanya istilah cebong versus kampret tidak bisa dipungkiri juga merupakan efek dari hal ini.
Indonesia sudah melalui periode cukup panjang dalam penentuan jabatan presiden yang dipilih oleh MPR. Sedangkan pemilihan presiden secara langsung baru dimulai sejak tahun 2004 lalu. Mereka yang pro dan kontra terhadap pilpres langsung atau pemilihan presiden oleh MPR pasti memiliki pendapatnya masing-masing.
Alasan-alasan yang diutarakan oleh setiap pihak bisa jadi berbeda-beda dan bertolak belakang. Namun semua pasti memiliki satu pandangan yang sama bahwa pemilihan presiden secara langsung ataupun tidak langsung adalah untuk memastikan kehidupan masyarakat lebih damai, lebih sejahtera, dan lebih demokratis.
Yang paling sering dipersolakan terkait pilpres secara langsung adalah besarnya gelontoran biaya pemilihan umum (pemilu) dan juga potensi konflik horisontal maupun vertikal di masyarakat. Namun pernahkah kita bertanya bahwa bisa jadi ada kemungkinan lain dibalik keinginan pemilihan presiden dilakukan kembali oleh MPR?
Beberapa partai politik ketika memasuki masa kampanye seringkali membawa-bawa nama Almarhum Presiden Soeharto dalam kampanyenya. Mereka menilai bahwa kehidupan negara Indonesia di era presiden kedua Republik Indonesia (RI) itu jauh lebih baik dan lebih kondusif. Sehingga "iming-iming" kembali ke zaman orba pun digulirkan.
Orang-orang yang rindu orba "menjual" banyak hal kepada publik sehingga masyarakat ikut terbujuk karenanya. Wacana pemilihan presiden oleh MPR yang kini tengah bergulir bukan tidak mungkin juga memiliki afiliasi dengan mereka yang "rindu" dengan cara-cara orba mengatur negara. Benarkah?