Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana menambah wakil menteri (wamen) lagi. Belakangan pemberitaan itulah yang mengemuka ke hadapan publik. Beragam asumsi pun muncul ke permukaan terkait hal ini. Mulai dari upaya meredam gejolak internal koalisi, hingga "menenangkan" para simpatisan. Sebagaimana yang kita tahu beberapa waktu lalu sebelum nama-nama wamen diumumkan, salah satu organisasi relawan Jokowi yaitu Projo (Pro Jokowi) mengadakan jumpa pers yang menyatakan bahwa mereka membubarkan diri seiring kekecewaan terhadap bergabungnya Prabowo ke gerbong koalisi.
Berselang dua hari kemudian, Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi ternyata dipanggil Presiden Jokowi ke istana dan akhirnya mendapatkan mandat sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT). Dan sepertinya Projo pun batal bubar.
"Jurus" ampuh yang dipakai Jokowi untuk "membujuk rayu" Projo sepertinya akan dipergunakan kembali untuk menenangkan gejolak yang terjadi di kubu koalisi pemerintah. Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, belakangan sering menggelar pertemuan dengan beberapa tokoh yang dianggap berpotensi menjadi "rival" Jokowi. Anies Baswedan didekatinya, sehingga muncul anggapan bahwa Nasdem sudah mempersipakan capres selanjutnya untuk pemilihan umum (pemilu) presiden tahun 2024 mendatang.
Belum lagi pertemuan dengan petinggi Partai Keadilan Sejahtera ketika pelukan Surya Paloh kepada Presiden PKS Sohibul Iman "dicemburui" oleh Presiden Jokowi. Sejak bergabungnya Prabowo dan Partai Gerindra ke kubu pemerintah hal itu sepertinya memantik kecemburuan politik dari beberapa pihak. Seperti yang diutarakan oleh Ketua DPP Partai Hanura, Nasrulllah, yang menyatakan bahwa Jokowi hanya menghitung kawan berdasarkan kalkulator semata atau hanya memandang jumlah suara partai saja. Belum lagi "kekecewaan" dari petinggi Nahdlatul Ulama (NU) karena tidak mendapatkan "jatah" menteri agama sebagaimana waktu-waktu yang lalu. Dalam sebuah kesempatan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraij sampai mengatakan "Ora patheken" terhadap jabatan menteri.
Keraguan demi keraguan memang masih mengiringi Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang baru seumur jagung itu. Sepertinya hal inilah yang membuat wacana keberadaan wamen tambahan semakin menguat. Padahal belum tentu juga wamen-wamen baru itu nantinya benar-benar diperlukan. Mengutip judul buku karya eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) era pemerintahan Presiden SBY, Denny Indrayana, "No Wamen No Cry".
Ketiadaan wamen baru ini bisa jadi tidak diperlukan untuk pengelolaan tugas kementerian tetapi dibutuhkan untuk meredam gejolak internal simpatisan pendukung pemerintah. Mantan calon wakil presiden Sandiaga Uno pun beranggapan bahwa rencana pemerintah menambah wamen ini membingungkan publik karena disatu sisi pemerintah memangkas eselon di tubuh kementerian tetapi disisi lain jabatan wamen justru ditambah. Daripada terjebak dalam kepentingan "harmoni" kubu pendukung, alangkah baiknya apabila Presiden Jokowi untuk meninjau lebih dalam lagi perihal rencananya menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
IMB dan Amdal Dihapus, Siapa yang Menangis?
IMB dan Amdal rencananya akan dihapus oleh Presiden Jokowi dengan pertimbangan untuk semakin menggairahkan investasi di Indonesia. Melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah menyatakan akan menghapus IMB dan Amdal dari daftar syarat perizinan investasi. Namun pemerintah juga menyatakan bahwa mereka tidak akan mengorbankan kualitas tata ruang dan lingkungan yang sustainable. Bukankah ini merupakan suatu kontradiksi?
Penghilangan IMB dan Amdal ini oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi dianggap sebagai langkah yang keliru. Menurutnya, pemangkasan perizinan dengan menghilangkan IMB dan Amdal sama halnya dengan mempercepat proses kerusakan lingkungan.
Bisa dibilang, langkah pemerintah ini adalah sesuatu yang sembrono karena berpotensi mengorbankan aspek penting yaitu kondisi lingkungan. Sesuatu yang sama-sama kita yakini cukup sensitif belakangan ini. Isu lingkungan senantiasa menjadi topik hangat pembicaraan di seluruh dunia. Para aktivits pecinta lingkungan akan beramai-ramai mengecam mereka yang berani berbuat semana-mena atau membahayakan lingkungan. Lha, ini kok presiden malah berani-beraninya membuat rencana yang kontroversial.
Ketiadaan IMB dan Amdal adalah jalan pasti menuju kesewenang-wenangan. Ketika aturan itu ada saja masih banyak korporasi yang bertindak menyalahi aturan-aturan yang berlaku. Lantas bagaimana jika aturan itu ditiadakan? Jangan mengatasnamakan investasi lantas lingkungan kita yang begitu berharga dikorbankan. Semestinya pemerintah bisa mencari tradeoff kebijakan jikalau selama ini keberadaan aturan terkait IMB dan Amdal menjadi penghambat laju investasi di Indonesia. Bukan IMB atau Amdal yang dihilangkan, melainkan prosesnya harus lebih disederhanakan namun tetap memiliki kekuatan yang baik untuk menjaga kondisi lingkungan.