Pembeli adalah raja. Demikian pernyataan yang sering kita dengar terkait bagaimana konsumen, pelanggan, atau pembeli harus diutamakan. Mereka harus diberikan pelayanan sebaik mungkin oleh para penyedia layanan.
Apapun yang diinginkan oleh konsumen atau pembeli haruslah dipenuhi dengan sebaik mungkin. Sedikit saja ketidakpuasan yang dirasakan oleh pembeli, maka mereka akan melakukan komplain atau melayangkan keluhan terkait apa yang mereka terima.
Bahkan para produsen besar saja sangat menghindari adanya komplain pelanggan. Karena menurut mereka keberadaan komplain adalah pertanda bahwa service yang diberikan masih belum sempurna.
Provider seharusnya menjadi fokus perhatian dari kualitas suatu pelayanan. Pada umumnya konsumen atau user merupakan pihak yang mengkritik provider. Sehingga provider akan semaksimal mungkin menghadirkan pelayanan prima kepada semua user-nya.
Setiap provider akan berlomba-lomba satu sama lain untuk mendapatkan "perhatian" dari user. Produk-produk milik provider saling "sikut" untuk menjadi pemenang di hati user-nya.
Oleh karena itu, sekecil apapun kesempatan yang ada akan benar-benar dimaksimalkan para provider. Jumlah order atau permintaan yang diberikan oleh user biarpun jumlahnya sedikit akan tetap diterimanya. Terlebih untuk produk-produk dengan tingkat persaingan ketat. "Haram" hukumnya menolak permintaan yang ada.
Menjadi suatu "anomali" ketika user yang seharusnya diperebutkan perhatiannya malah justru "ditolak" oleh beberapa provider tertentu. Sebuah ketidaksengajaan atau ungkapan tidak langsung untuk menyatakan bahwa pembeli bukanlah raja, atau setidak-tidaknya sang provider ingin berkata bahwa raja pun bisa ditolak.
Sebenarnya sah-sah saja untuk menolak request dari user asalkan alasannya tepat. Misalnya ketika request itu berpotensi menciptaakan inefisiensi terhadap operasional provider. Dengan kata lain nilai keuntungannya lebih kecil dibandingkan kerugiannya, atau efek negatifnya lebih besar daripada efek positif yang ditimbulkan. Namun apabila gegara sesuatu yang sepele saja lantas prinsip melayani konsumen dengan baik justru dikorbankan, maka disinilah letak masalahnya.
Beberapa hari lalu saat saya sedang mengisi bensin di SPBU, saya menjumpai salah seorang pembeli lain yang mendapatkan "teguran" dari petugas SPBU. Tegurannya adalah berkaitan dengan uang yang dipakainya untuk membayar.
Sang pembeli tidak memiliki "uang receh" untuk membayar bensin yang ia beli. Ia "hanya" memiliki uang pecahan Rp 100 ribu, sehingga petugas SPBU pun harus memberikan uang kembalian. Entah karena mungkin kondisi masih pagi dan uang yang ada di kasir petugas jumlahnya masih terbatas atau karena hal lain, si petugas pun akhirnya "ngomel-ngomel" kepada pembeli karena "permintaannya" untuk membayar dengan uang pas tidak dipenuhi.
Bisa dibilang "apes" memang bagi si pembeli itu karena pagi-pagi ia sudah mendapatkan "sarapan yang tidak sedap". Tetapi si pembeli tadi juga harus bersyukur karena ada sebagian provider lain yang malah "mempersilahkan" calon konsumennya untuk pergi, istilah lain untuk menyatakan bahwa mereka enggan menerima pembeli yang tidak membawa uang pas.