Bisnis yang berkembang di era digital ini memunculkan berbagai macam jenis usaha rintisan teknologi (startup) yang bergerak di berbagai bidang. Dari sekian banyak startup yang ada tadi, nama-nama beken seperti gojek, traveloka, tokopedia, atau bukalapak merupakan beberapa pemain besar yang cukup terkenal di mata masyarakat. Banyak orang yang begitu bangga melihat karya-karya anak bangsa ini karena pertumbuhannya yang begitu pesat bahkan telah berhasil menjangkau pasar mancanegara. Terlebih, aplikasi ini digagas oleh pemikiran putra-putri bangsa Indonesia sendiri. Sehingga tidak berlebihan kiranya ketika sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) membanggakannya di kancah internasional.
Pada saat debat pelihan umum presiden (pilpres) yang lalu, Bapak Jokowi ramai diperbincangkan setelah menyebutkan istilah unicorn atau perusahaan rintisan dengan valuasi diatas satu miliar US dollar. Setelah itu, berlanjut dengan perbicangan siapa-siapa saja startup yang telah berhasil mencapai tahap itu. Go-Jek masih menjadi yang terdepan dalam hal valuasi nilai perusahaan, yang mana saat ini sudah mencapai tahap decacorn atau valuasi diatas US$ 10 miliar, disusul oleh tokopedia (US$ 5,9 miliar), traveloka (US$ 500 juta), bukalapak (US$ 200 juta), dan beberapa startup lain [1]. Dengan valuasi yang cukup besar seperti itu, tidak mengherankan perkembangan yang terjadi begitu pesat. Sepertinya kita harus berbangga melihat pencapaian para anak bangsa ini.
Namun tunggu dulu, dibalik besarnya valuasi yang dimiliki startup karya anak bangsa ini benarkah mereka patut disebut sebagai "harta" bangsa Indonesia? Dari besaran valuasi startup ternama seperti gojek, tokopedia, bukalapan, atau traveloka perlu kita tahu bahwa investor "penyumbang" dana terbesar mayoritas berasal dari luar negeri. Nama-nama seperti Alibaba Group (asal Tiongkok), JD.com (asal Tiongkok), Tencen Holdings (asal Tiongkok), Google (asal Amerika Serikat), New World Strategic Invesment (asal Tiongkok), Temasek Holdings (asal Singapura), Mirae Aset (asal Korea Selatan), dan masih ada beberapa investor lain dari luar negeri [1]. Sedangkan investor yang berasal dari dalam negeri terbilang sangat sedikit, diantaranya Astra Internasional dan Global Digital Niaga milik Djarum Group [2].
"Berkuasanya" investor asing terhadap perusahaan-perusahaan rintisan karya anak bangsa ibarat dua sisi mata pisau. Pada satu sisi ia dibutuhkan untuk mengepakkan sayap bisnis starup agar semakin melambung tinggi. Akan tetapi disisi lain hal ini juga menyimpan kekhawatiran bahwa pundi-pundi uang hasil jerih payah startup ikut menguap keluar negeri bersama para investor di negara mereka berasal.
Secara fisik mungkin pengelolaan startup masih berada dalam komando anak bangsa, dikelola anak bangsa sendiri, pekerja dari bangsa sendiri, namun hasil akhir dari operasional perusahaan justru sebagian besar dinikmati asing. Barangkali tidak berlebihan jikalau kita menyebut perusahaan-perusahaan rintisan dengan dukungan investor-investor asing ini sebagai "startup lokal rasa asing".
Power para Founder Startup dan Kontribusi Investor Lokal
Keberadaan investor asing pada beberapa startup andalan Indonesia memunculkan kekhawatiran bahwa perusahan-perusahaan rintisan tersebut akan dikuasai asing. Kedaulatan bisnis menjadi dipertanyakan oleh banyak pihak. Gembar-gembor perusahaan karya anak bangsa diragukan seiring banyaknya asupan modal asing yang masuk. Kekuasaan yang dimiliki para founder dikhawatirkan melemah dengan kehadiran pemodal asing yang mendanai pertumbuhan startup yang mereka gagas.
Mungkin kesediaan para founder perusahaan rintisan menerima pemodal asing didasari keinginan besar untuk menumbuhkan perusahaan yang mereka gagas tapi disertai perjanjian yang memastikan bahwa pengelolaan perusahaan sepenuhnya berada dalam kendali para founder. Namun hal ini masih diragukan banyak orang mengingat potensi kekuatan modal yang bisa jadi tidak terbatas. Mungkin sebagian dari kita tahu bahwa seorang seperti Steve Jobs pernah dipecat oleh para direksi di perusahaan Apple yang ia dirikan, sebelum akhirnya beberapa tahun kemudian ia kembali untuk mempertahankan keberlangsungan hidup perusahaannya itu.
Apabila kondisi yang dialami Steve Jobs ini pernah terjadi, bukankah kondisi serupa juga berpotensi terulang di perusahaan-perusahaan yang lain? Saat ini kita hanya bisa berharap agar Nadiem Makarim, Zaki, William Tanoewijaya, dan para founder perusahaan rintisan lain untuk mampu bertahan menjaga "kedaulatan" startup yang mereka dirikan. Semoga mereka memiliki cukup power untuk menahan gempuran dari para pemodal yang sewaktu-waktu bisa merebut eksistensi perusahaan yang mereka lahirkan.
Selain berharap kekuatan dari para founder untuk menjaga keutuhan startup, para pemodal lokal atau pemodal dari dalam negeri semestinya lebih memiliki kepedulian terhadap hal ini. Jika perusahaan-perusahaan asing seperti Alibaba atau Google saja cukup yakin dengan prospek perusahaan rintisan tanah air, mengapa para investor lokal tidak memiliki keyakinan serupa? Jangan hanya melakukan gembar-gembor bahwa startup lokal kita dikuasai asing sedangkan kemampuan investasi yang mereka lakukan tidak diberdayakan untuk mendukung perkembangan startup karya anak bangsa.