Ramai-ramai jatah menteri belum usai, kini sudah muncul "perburuan" politik baru dimana para elit politik berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan menduduki kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Selayaknya jabatan lain dalam politik, menduduki posisi ketua MPR tentu memberikan keuntungan tersendiri bagi pemiliknya. Gengsi partai meningkat, nilai tawar dari individu-individu yang mendudukinya juga terangkat.
Dalam peranan tata kehidupan politik berbangsa dan bernegara, menjabat sebagai ketua MPR saat ini mungkin sudah tidak seperti dulu lagi.
MPR saat ini tidak lagi memiliki kewenangan seperti dahulu ketika berwenang memilih Presiden Republik Indonesia. Meskipun demikian, hal ini tidak mengurangi minat para politikus untuk menduduki posisi tersebut.
MPR yang ada saat ini bisa dikatakan tidak sespesial dulu lagi. Dulu MPR adalah lembaga tertinggi yang berada diatas Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Saat ini MPR berada pada posisi setara dengan beberapa lembaga tinggi negara tersebut. Presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat, bukan lagi oleh MPR. Singkat kata, wajah MPR sudah sangat jauh berubah.
Apakah kursi MPR hanyalah "sisa-sisa" jabatan politik di Indonesia? Mungkin pertanyaan ini hadir di benak kita setelah ingar-bingar kursi menteri dan kursi ketua DPR berlalu begitu saja bagi beberapa politikus.
Seiring berjalannya waktu, terutama saat jalannya roda pemerintahan setiap periodenya eksistensi MPR sangat jarang sekali terdengar.
Melihat sebuah posisi politik yang tidak terlalu terdengar peran fungsinya dari lembaga ini tetapi tetap menjadi ajang rebutan elit politik tentu membuat keberadaan MPR kembali menarik. Lembaga ini ternyata masih memiliki daya tarik bagi para politisi meskipun tidak semenarik kursi menteri atau kursi ketua DPR.
Eksistensi MPR