Beberapa hari sudah berlalu sejak hari pertama masuk sekolah pada tahun ajaran baru 2019 ini. Banyak kesan dan pengalaman dari mereka yang menjadi bagian dari momen ini. Tahun ajaran baru berarti perlengkapan sekolah baru, buku baru, tas baru, sepatu baru, dan seragam baru. Terlebih oleh para siswa yang baru menapaki jenjang pendidikan selanjutnya.
Mereka yang beranjak dari Sekolah Dasar (SD) dan menapaki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus mengubah seragamnya dari putih merah menjadi putih biru. Begitu juga dengan mereka yang beranjak dari SMP ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) harus mengubah seragamnya dari putih biru menjadi putih abu-abu.
Berkaitan dengan seragam ini ada salah seorang kawan yang bercerita pengalamannya perihal putrinya yang baru saja memasuki jenjang pendidikan SMA. Dari cerita yang disampaikan olehnya, diketahui bahwa siswa baru dengan ukuran baju diatas XL (Extra Large) harus membayar biaya tambahan sebesar Rp 10.000,-. Sekilas nominal ini tergolong kecil.
Permasalahannya bukanlah tentang besar kecilnya nominal, akan tetapi memberlakukan "aturan khusus" kepada siswa baru berbadan subur akan menciptakan kesan diskriminatif. Mereka yang spesial dengan ukuran tubuhnya yang besar diharuskan untuk membayar lebih dibandingkan siswa yang lainnya.
Mungkin pertimbangan dari pihak sekolah adalah mereka membutuhkan kain yang lebih besar untuk menjahit seragam berukuran besar, dengan kata lain mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan bahan baku seragam. Oleh karena itu, kekurangan biaya yang diperlukan untuk pengadaan bahan baku harus ditutupi sendiri oleh siswa yang bersangkutan.
Apabila argumen ini yang dijadikan dasar oleh pihak sekolah, lantas bagaimana dengan siswa bertubuh kecil atau kurus? Bukankah seharusnya mereka membayar lebih sedikit dari iuran yang diberlakukan? Kenyataannya mereka tetap membayar sebagaimana kebanyakan siswa lain. Hanya mereka yang bertubuh extra big saja yang menerima aturan khusus.
Hal ini menjadi preseden yang kurang baik khususnya bagi siswa bertubuh besar. Sedari awal mereka sudah dipandang berbeda. Kondisi ini seakan menjadi "gerbang awal" bagi siswa bertubuh besar ini untuk menerima perlakuan kurang baik dari teman-temannya. Sudah sangat umum terjadi anak-anak dengan tubuh yang subur itu dijadikan objek bullying oleh rekan-rekannya.
Mungkin mereka dipanggil dengan sebutan "gendut", "king kong", dan sejenisnya. Pihak institusi sekolah mungkin tidak menyebut siswa-siswa ini dengan sebutan itu. Akan tetapi mereka malah menjadi pihak yang mengawali tindakan diskriminatif itu melalui aturan biaya tambahan baju seragam.
Sekolah adalah tempat untuk mempelajari banyak hal, termasuk diantaranya adalah terkait bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan sama rata sama rasa. Siswa-siswi bertubuh gemuk seharusnya dipandang sama baiknya dengan mereka yang bertubuh kurus atau yang bertubuh rata-rata. Dan pengajaran akan hal ini tidak dilakukan sebatas pada saat proses belajar mengajar di kelas berlangsung.
Hal itu sudah harus dimulai sejak siswa-siswi menginjakkan kakinya untuk pertama kali di lingkungan sekolah barunya. Pembentukan karakter anak didik sebagian besar diantaranya terjadi di lingkungan sekolah, dan hal itu terjadi melalui setiap aspek pergaulan. Bahkan untuk sesuatu hal yang sederhana seperti membuat aturan biaya tambahan bagi siswa-siswi bertubuh extra big.
Salam hangat,