Rambutnya sudah memutih penuh dengan uban. Tubuhnya berisi, tapi langkahnya sudah tidak setegap dulu.
Suaranya terdengar lemah dan agak mengalami kesulitan dalam bicara akibat sakit stroke yang beliau alami beberapa tahun terakhir ini. Namun semua hal itu tidak membuat ia menyerah dalam memakmurkan mushola yang selama puluhan tahun ini menjadi ladang ibadah bagi dirinya.
Beliau bernama Bapak Abdul Salam, seorang guru ngaji di Dusun Karangsono, Desa Grenden, Jember, Jawa Timur. Warga di kampung saya mengenal beliau dengan panggilan Pak Dul.
Pak Dul adalah guru mengaji saya sewaktu kecil dulu. Ketulusan beliau dalam mengajari anak-anak kampung mengaji patut diacungi jempol. Beliau mengajar tanpa dibayar, mengajar ngaji tanpa mengambil cuti, dan mendidik masyarakat dengan penuh semangat.
Selama beberapa tahun menuntut ilmu ke beliau, tidak pernah satu kali pun saya atau santri yang lain ditarik uang bulanan. Cukup bagi beliau menghidupi diri dan keluarganya dari bertani yang sederhana.
Mushola yang beliau kelola pun sangat jauh dari kata megah, bahkan sejak sebelum saya nyantri di sana sekitar 22 tahun lalu sampai sekarang mushola itu tidak pernah diberi nama.
Mengaji di mushola itu berbeda halnya dengan mengaji di pesantren. Ilmu yang diajarkan di mushola mungkin sebatas membaca Al Quran, tata cara sholat, dan sedikit belajar kitab. Meskipun begitu, kehadiran sosok Pak Dul di kampung kami sangatlah berharga karena beliau berkenan mengajari anak-anak di kampung kami ilmu agama tanpa memungut bayaran apapun.
Semata-mata hal itu beliau lakukan sebagai suatu ibadah dengan mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang banyak.
Apa yang dilakukan oleh Pak Dul ini bisa dibilang cukup berkontribusi terhadap pengendalian aktivitas malam para anak muda. Karena sejak Maghrib hingga Isya kami berangkat ke mushola untuk mengaji, membaca Al Quran lembar demi lembar, atau mempraktikkan tata cara pelaksanaan shalat fardhu maupun sunnah. Hal ini secara tidak langsung telah menjadikan waktu malam kami lebih produktif dan lebih bermanfaat daripada sekedar "keluyuran" tidak jelas.
Banyak santri yang datang silih berganti. Tapi beliau tidak pernah pilih-pilih dalam menerima seseorang untuk belajar di sana. Siapapun dan kapanpun bisa ikut mengaji dan belajar ilmu agama bersamanya.
Pernah suatu ketika ada seorang anak keturunan Tionghoa yang diajak salah seorang santri untuk ikut mengaji ke mushola beliau. Padahal semua orang di sana tahu bahwa anak itu bukanlah seorang muslim dan orang tuanya pun merupakan pengikut kepercayaan leluhur alias non muslim.