Perkembangan dunia digital yang semakin masif mau tidak mau menghasilan efek negatif berupa "penyakit digital" seperti hoaks, ujaran kebencian, dan sejenisnya. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memantau bahwa pasca kerusuhan 22 Mei yang lalu persebaran berita hoaks banyak sekali terjadi.
Laman media sosial seperti facebook adalah satu dari sekian tempat yang menjadi sasaran penyebaran berita hoaks ini, selain itu media komunikasi WhatsApp pun juga tidak luput dari penyebaran berita hoaks ini.
Sehingga kita semua tahu kalau pada tanggal 22 Mei yang lalu itu media sosial sempat dibatasi oleh Kementerian Komunikasi (Kominfo) guna menghindari tersebarnya informasi yang tidak valid serta tidak jelas asal usulnya.
Dunia digital adalah realitas baru yang sama luasnya dengan kehidupan nyata yang kita tinggali saat ini. Namun di sana sekat pembatas seolah tidak ada lagi. Orang-orang dari berbagai penjuru dapat melihat aktivitas orang lain di penjuru yang lain. Informasi yang ada di suatu wilayah dalam hitungan detik sudah bisa dijangkau oleh mereka yang ada di wilayah lain.
Implikasi dari hal ini adalah tindak kriminalitas pun juga berpotensi terjadi dengan memanfaatkan teknologi digital tersebut. Arus komunikasi saat ini hampir semuanya berbasis digital, sehingga Polri menilai bahwa patroli dalam rangka mencegah aksi kriminalitas pun juga harus dilakukan di dunia digital. Patroli cyber tidak sebatas untuk menghalau kejahatan cyber atau cyber crime, tetapi kejahatan "konvensional" pun juga dapat dipantau di sini.
Salah satu yang menjadi pantauan Polri saat ini adalah grup WhatsApp. Polri bekerja sama dengan Kominfo berencana untuk melakukan penyelidikan terhadap grup-grup WhatsApp yang salah satu atau lebih anggotanya terindikasi atau terkait dengan aksi kriminalitas. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan kekondusifan di tengah-tengah masyarakat.
Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Polri ini terkait melakukan pantauan terhadap grup-grup WhatsApp tidak bisa dilakukan sembarangan. Polri harus memiliki dasar tindakan yang kuat dan jelas seperti terjadinya aksi kriminalitas, adanya delik aduan, adanya delik umum, atau ada anggota grup yang terkait dengan tindakan kriminal barulah Polri bertindak dengan masuk ke grup WhatsApp terkait.
Apa yang dilakukan oleh Polri ini bukanlah upaya untuk memasuki ranah privasi publik, akan tetapi sebagai sebuah langkah pencegahan serta penanggulangan tindak kejahatan dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Asalkan dalam implementasinya tidak menimbulkan kegaduhan publik serta mengusik kenyamanan komunikasi masyarakat maka langkah Polri ini sebenarnya patut untuk didukung.
Sekiranya kita semua tentu tidak menginginkan kehadiran pelaku kriminal ikut "nimbrung" dalam komunitas kita. Salah-salah malah kita akan ikut terseret sesuatu yang kita tidak pernah terlibat sedikitpun didalamnya.
Ada begitu banyak grup-grup WhatsApp, dan hampir setiap pengguna aplikasi ini ikut terlibat lebih dari satu grup WhatsApp. Grup pekerjaan, grup komunitas, grup alumni, grup bisnis, dan lain sebagainya.