Konflik antar divisi atau bagian dalam suatu organisasi bisnis seringkali dianggap lumrah terjadi dan merupakan bagian dari dinamika organisasi. Akan tetapi bagaimana jika konflik yang terjadi itu sudah cenderung saling mempermasalahkan satu sama lain dan frekuensi terjadinya juga cukup sering? Akar masalah terkait mengapa seseorang dari satu bagian beradu debat dengan orang-orang dari bagian lain atau barangkali bertengkar dengan sesama rekan satu bagian salah satu diantaranya adalah adanya hasrat untuk membela diri dan harapan agar tidak dipersalahkan.
"Menyerah" dengan mengakui bahwa dirinya sebagai orang yang layak untuk dipersalahkan mungkin adalah opsi terakhir yang akan diambil seseorang dalam rangka menjalankan tugas pekerjaannya.
Karena seseorang yang tertunjuk sebagai "pelaku kesalahan" seringkali akan mendapatkan punish yang tidak menyenangkan seperti dimarahi, dimaki, atau dipotong gaji. Konsekuensi seperti inilah yang cenderung dihindari oleh setiap orang, sehingga mereka akan "mati-matian" membela dirinya agar tidak menjadi sosok yang dipersalahkan.
Situasi ini yang sering kita sebut sebagai pressure atau tekanan di tempat kerja. Setiap kesalahan melangkah terkait tugas dan tanggung jawab dalam pekerjaan memberikan beban batin atau kekhawatiran didalam diri seseorang.
Akibatnya setiap orang akan berlomba-lomba untuk menjauhi zona penuh ketidaknyamanan itu. Terlebih ketika mereka dipimpin oleh sosok yang mudah marah, meledak-ledak, dan suka meluapkan emosi apabila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. Ketika penjualan tidak berjalan sesuai rencana, amarahnya sudah meluap-luap.
Ketika ada kemuduran jadwal produksi, emosinya keluar. Ketika ada miskomunikasi pada anak buah, kata-kata pedas keluar dari mulutnya. Kondisi ini secara tidak langsung membuat mereka yang menjadi bagian dari anggota tim pemimpin seperti itu merasa tertekan dan perilakunya cenderung menghindari kesalahan.
Apabila terdapat kemungkinan seorang anak buah dicap bersalah, maka ia akan melihat kiri kanan sembari mengulik potensi masalah yang ada di tempat lain sehingga dirinya tidak lagi dicap paling bersalah. Atau minimal ia mendapatkan partner untuk sama-sama menerima murka atasan.
Kepemimpinan yang dibarengi amarah memiliki potensi luar biasa untuk merusak harmoni kerja dalam sebuah organisasi. Ia dapat melahirkan efek domino yang menciptakan masalah-masalah lain dimana hal itu sebenarnya akan menjadi stimulus kemarahan yang semakin besar.
Ketika seorang pemimpin meminta salah satu anak buahnya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, maka sang anak buah akan berupaya mengerjakan tugas itu dengan sebaik mungkin. Namun potensi kesalahan atau meleset antara rencana dengan realitas juga tidak dapat dihindari.
Pada saat kesalahan terjadi dan sang anak buah merasa bahwa itu ada kaitannya dengan orang-orang dari bagian lain, maka aksi "tunjuk hidung" biang keladi penyebab masalah akan semakin melebar. Siapa diantara kita yang senang menerima tuduhan bersalah? Mungkin hampir tidak ada.
Hal inilah yang dikemudian hari berpotensi melahirkan sikap antipati dan hilangnya respek antara satu orang dengan orang lain. Hilangnya respek dan semangat untuk percaya satu sama lain pada akhirnya akan memunculkan kecanggungan dalam komunikasi.