Lihat ke Halaman Asli

Agil Septiyan Habib

TERVERIFIKASI

Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Ramai Penukaran Uang Receh Jelang Lebaran, Ribakah?

Diperbarui: 29 Mei 2019   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tradisi penukaran uang receh adalah fenomena tahunan menjelang lebaran (Sumber gambar : https://money.kompas.com)

Hampir selalu terjadi setiap tahun di mana banyak orang beramai-ramai mencari uang receh untuk ditukar. Jasa penukaran uang "dadakan" banyak bermunculan di pinggir jalan. Bahkan tidak jarang dari sebagain rekan kerja yang menawarkan hal serupa. 

Uang receh yang biasanya "diabaikan" seakan berubah menjadi primadona baru sebagian masyarakat yang ingin berbagi sebagian rezekinya kepada sanak kerabat atau tetangga di sekitar rumah. Sebuah niatan mulia sebenarnya.

Namun menukar uang dengan uang memiliki konsekuensi berat apabila tidak hati-hati dalam melakukan transaksinya. Prinsip utama dalam Islam ketika melakukan transaksi tukar menukar barang adalah harus kontan dan senilai. 

Dalam konteks melakukan penukaran uang receh praktik yang seringkali kita temui adalah sejumlah uang receh baru ditukar dengan nominal utuh sejumlah uang tersebut ditambah besaran tertentu. 

Misalnya ada seseorang yang menukar uang receh pecahan Rp 5.000 sebesar Rp 100.000 harus digantikan dengan nominal utuh lembaran Rp 100.000 ditambah Rp 10.000 yang merupakan biaya atas penukaran yang dilakukan. Beberapa orang menyebutnya sebagai uang lelah atau uang jasa. Transaksi yang tidak senilai ini, menukar uang Rp 100.000 dengan Rp 110.000 bisa tergolong sebagai riba.

Dalam melakukan transaksi jual beli atau tukar menukar barang akad yang dilakukan harus diperjelas. Bagaimanapun juga, menukar uang Rp 100.000 dengan Rp 110.000 tidaklah senilai. 

Menurut Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. H. M. Asrorun Ni'am Sholeh, M.A., aktivitas tukar menukar uang seperti itu boleh, asal tidak ada unsur diperjanjikan. 

Diperjanjikan di sini misalnya uang receh pecahan Rp 100.000 HARUS ditukar dengan uang Rp 110.000, Rp 120.000, dan seterusnya. Dengan kata lain semacam ada tarif yang diberlakukan untuk melakukan pertukaran uang tersebut. 

Berbeda halnya ketika kita menukar uang receh pecahan Rp 100.000 dengan nominal uang yang sama, namun karena kita merasa ditolong kemudian memberikan uang terima kasih seikhlasnya tanpa ada batasan atau penentuan angka nominalnya. Perbedaannya sangat tipis sekali disini. Bahkan bagi sebagian orang mungkin masih beranggapan hal ini masih tidak menghilangkan unsur ribanya.

Edukasi MUI dan Kontribusi Bank Syariah

Mungkin ada banyak sekali kepentingan di balik keinginan seseorang untuk mendapatkan uang receh jelang lebaran. Akan tetapi hal itu sebaiknya tetap membuat kita sebagai umat muslim untuk tetap berhati-hati dalam mengambil tindakan. Karena jika kita "terpeleset" sedikit saja dalam transaksi pertukaran uang ini, maka bisa jadi kita akan terperosok dalam riba. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline